Mulai tahun ajaran 2025/2026, Pemerintah Provinsi Sumatera Utara resmi menerapkan kebijakan lima hari sekolah bagi siswa SMA, SMK, dan SLB. Dicanangkan oleh Gubernur Bobby Nasution, kebijakan ini diklaim sebagai upaya untuk menekan kenakalan remaja, mulai dari tawuran, geng motor, narkoba, dan perilaku menyimpang lainnya. Namun pertanyaannya, apakah benar hanya dengan memperpanjang jam sekolah, masalah pelik ini bisa diurai?
Pemerintah tampaknya melihat masalah dari permukaan. Bahwa remaja nakal karena terlalu banyak waktu luang, sehingga solusinya adalah memperpendek waktu kosong dengan menambah waktu di sekolah. Logika ini tampak sederhana, bahkan menggiurkan, jika remaja sibuk belajar, maka tak ada ruang untuk “berbuat nakal”. Namun realitas sosial jauh lebih rumit.
Sesungguhnya kenakalan remaja tak lahir dari waktu kosong semata. Ia tumbuh dari ketiadaan perhatian keluarga, tekanan ekonomi, lingkungan sosial yang buruk, hingga minimnya nilai moral dan spiritual. Anak-anak yang hidup dalam rumah tangga yang rusak, komunitas yang keras, dan budaya digital yang permisif, tidak akan tiba-tiba menjadi “baik” hanya karena berada di ruang kelas lebih lama.
Justru, banyak pelajar yang mengeluhkan kelelahan, kejenuhan, dan tekanan mental akibat jam belajar yang panjang. Dalam kondisi demikian, emosi menjadi tidak stabil, dan potensi ledakan perilaku menyimpang justru meningkat. Kita jangan lupa: anak-anak bukan robot akademik. Mereka butuh ruang bermain, ruang tumbuh, dan ruang jiwa yang sehat.
Sudah Siapkah Kita?
Jika memang ingin menerapkan full day school, pertanyaannya bukan hanya soal jam, tapi kesiapan ekosistemnya. Sudahkah sekolah-sekolah di Sumut memiliki ruang istirahat yang layak? Sudahkah tersedia kantin yang sehat dan terjangkau? Bagaimana dengan ruang ibadah yang nyaman untuk sholat Dzuhur dan Ashar?
Lebih jauh lagi, apakah sekolah memiliki guru-guru yang mampu bukan hanya mengajar, tetapi membimbing? Mampukah mereka menjadi sosok teladan yang bisa membina karakter, bukan sekadar menyelesaikan kurikulum? Sebab yang kita butuhkan hari ini bukan hanya murid pintar, tapi murid berkarakter. Jika karakter tidak disentuh, maka kejahatan hanya akan bergeser bentuk, dari jalanan ke dalam ruang kelas.
Sekolah tidak bisa dan tidak seharusnya mengambil alih semua peran pendidikan. Keluarga, komunitas, dan masjid tetap harus menjadi pilar penting dalam pembinaan remaja. Sehebat apa pun sekolah, ia tak akan bisa menggantikan kasih sayang ayah dan ibu, atau pengaruh positif dari lingkungan yang sehat. Maka kebijakan pendidikan yang baik seharusnya menghubungkan dan menyinergikan ketiga pilar ini, bukan sekadar memperpanjang waktu duduk di bangku sekolah.
Jangan Jadi Ilusi Solusi
Jika kebijakan ini hanya menambah jam tanpa menyentuh akar masalah, maka ia berpotensi jadi ilusi solusi. Seolah-olah kita sedang mengatasi masalah, padahal hanya menutupinya. Lebih buruk lagi, ia bisa menjadi bom waktu yang menambah tekanan bagi siswa, guru, orang tua, bahkan sistem pendidikan itu sendiri.
Gubernur Sumut boleh saja berniat baik. Tapi niat tak cukup. Kebijakan pendidikan harus berpijak pada riset, pengalaman, dan refleksi mendalam tentang kondisi lokal. Jika tidak, kita hanya memindahkan masalah, bukan menyelesaikannya.
Maka sebelum full day school ini dijalankan penuh, pemerintah wajib menjawab pertanyaan-pertanyaan kritis: Apa indikator keberhasilannya? Bagaimana mekanisme evaluasinya? Siapa yang akan memantau dampaknya secara psikologis, sosial, dan spiritual?
Karena pada akhirnya, pendidikan bukan soal durasi, tapi kualitas interaksi, antara guru dan murid, orang tua dan anak, komunitas dan generasi mudanya.