Sengketa empat pulau antara Provinsi Aceh dan Sumatera Utara seolah menjadi gambaran betapa lemahnya negara dalam mengelola batas-batas wilayah. Empat pulau kecil: Panjang, Lipan, Mangkir Besar, dan Mangkir Kecil, kini menjadi simbol besar dari betapa mudahnya batas-batas administratif digeser, diperebutkan, bahkan “diatur” ulang di balik meja kekuasaan.
Namun ini bukan soal Aceh atau Sumut semata. Ini adalah cerita tentang bagaimana negara perlahan kehilangan kendali atas dirinya sendiri, Â Yakni tatkala sebuah wilayah bisa direvisi, diatur ulang, dan diperebutkan seperti aset pribadi. Dan kita pun menjadi patut bertanya, apakah negara ini sedang bingung, atau justru berpura-pura bingung karena ada skenario besar yang sedang dimainkan?
Apa yang terjadi di empat pulau itu bukanlah kasus tunggal. Indonesia saat ini menyimpan ratusan konflik batas wilayah antar kabupaten, antar provinsi, bahkan antar desa. Sebagian besar tidak kunjung selesai meski puluhan tahun berlalu. Ombudsman RI mencatat ada lebih dari 300 titik rawan sengketa batas yang belum jelas status hukumnya. Bahkan ada desa yang masuk dua kabupaten, atau pulau yang dicatat dalam dua provinsi berbeda.
Yang ironis, ini terjadi dalam satu negara yang katanya negara kesatuanu. Kepala daerah, alih-alih menyelesaikan secara damai, justru terlibat dalam saling klaim dan saling rebut wilayah, seperti penguasa feodal zaman silam. Mereka bersaing mengklaim satu wilayah karena tahu bahwa siapa yang menguasai, dialah yang memanen anggaran, pajak, proyek, dan legitimasi politik.
Apakah ini untuk kepentingan rakyat? Tidak selalu. Karena kenyataannya, siapa pun yang mengelola, seharusnya hasil kekayaan alam itu kembali untuk kepentingan bangsa. Tapi justru, yang terjadi adalah sebaliknya, daerah memperebutkan batas ditengarai bukan demi pelayanan, melainkan demi potensi ekonomi.
Di tengah konflik ini, pemerintah pusat tampil sebagai aktor paling ambigu. Seringkali berdalih “masih dikaji”, “belum ada data lengkap”, atau “menunggu validasi geospasial”. Padahal, negara memiliki seluruh perangkat. Ada Badan Informasi Geospasial dan Kemendagri, bahkan ada  Perpres soal satu peta nasional. Tapi kenapa konflik seperti Aceh–Sumut terus berlarut? Ada dua kemungkinan: pemerintah pusat tidak mampu, atau justru tidak mau menyelesaikan.
Jika tidak mampu, maka ini adalah kegagalan sistemik. Tapi jika tidak mau, maka ini lebih berbahaya. Artinya, ada kepentingan yang sengaja dibiarkan menggantung. Konflik dibuat samar agar bisa dinegosiasikan di belakang layar. Wilayah dijadikan alat tukar politik. Kepastian hukum diperdagangkan untuk konsesi atau dukungan.
Teori Konspirasi atau Fakta yang Belum Dibuka?
Dalam konteks empat pulau yang diklaim Sumut dari Aceh, mencuat spekulasi yang lebih dari sekadar teknis batas bahwa ini bagian dari proyek besar rejim sebelumnya untuk mengatur ulang peta kekuasaan di Sumatera Utara. Pengalihan wilayah ke Sumut diduga bukan hanya soal peta, tetapi rancang bangun politik dinasti,
Gubernur Sumut, disebut-sebut sedang disiapkan untuk mengelola wilayah-wilayah kaya sumber daya, termasuk pulau-pulau strategis itu. Dengan penguasaan administratif, pemerintah provinsi bisa mendorong kebijakan investasi, pembangunan kawasan, dan kerjasama swasta. Tentu ini celah emas bagi kapital dan koneksi kekuasaan.
Muncul dugaan bahwa pulau-pulau itu akan disulap menjadi kawasan ekonomi khusus, proyek wisata premium, atau bahkan pusat logistik regional yang dikendalikan oleh oligarki dan kartel bisnis properti. Dalam skenario ini, konflik batas hanya permukaan tetapi yang lebih penting adalah siapa yang akan mendapat akses legal untuk mengeksploitasi sumber daya.
Konflik Kepentingan: Rakyat di Mana?
Jika narasi konspirasi ini benar atau bahkan separuhnya saja, maka kita sedang menyaksikan pengkhianatan atas prinsip negara kesatuan. Wilayah bukan lagi milik bersama, tetapi menjadi barang dagangan elite. Di sisi lain, masyarakat lokal, baik dari Aceh maupun Sumut, justru menjadi penonton dalam perebutan yang melibatkan aktor-aktor kuat: pemerintah pusat, pengusaha, dinasti politik, dan oligarki nasional.
Ini menjelaskan mengapa kepala daerah kerap begitu ngotot mempertahankan klaim wilayah. Bukan demi pelayan publik, tapi demi potensi investasi. Bukan demi warga, tapi demi nilai jual proyek di masa depan.
Logika ini membunuh semangat kebangsaan. Karena di dalam satu republik, sesama kepala daerah justru saling sikut demi klaim otoritas, seakan-akan wilayah yang diperebutkan akan menjadi kerajaan kecil pribadi mereka. Mereka lupa bahwa siapa pun yang mengelola, seharusnya kekayaan itu kembali ke seluruh rakyat Indonesia.
Kecuali memang, sejak awal niatnya bukan untuk rakyat, Â melainkan untuk memperkaya kelompok sendiri.
Negara tidak boleh terus berdiri di tengah dan pura-pura netral. Pemerintah pusat harus secara terbuka menjelaskan alasan pengalihan empat pulau tersebut. Jika ada kekeliruan teknis, akui. Jika ada desain politik, bongkar. Jika ada indikasi konflik kepentingan, selidiki.
Jangan biarkan ruang-ruang negara dijadikan transaksi kekuasaan. Jangan biarkan rakyat diadu dalam konflik yang tidak mereka ciptakan.