“SEJARAH ditulis oleh pemenang, tetapi sering kali dibangun di atas pengkhianatan.”
Patik lama mendengar kalimat itu. Pemimpin di negeri ini seolah-olah tidak terlepas dari pengkhianatan. Siapa yang berada di dalam jeruji, siapa yang di luar jeruji. Siapa mengkhianati siapa.
Pengkhianatan adalah cermin kompleksitas manusia—dari nafsu akan kekuasaan hingga insting bertahan hidup. Kisah-kisah ini mengingatkan bahwa dalam sejarah, loyalitas sering kali bersifat sementara, sementara dampak pengkhianatan bisa mengubah nasib suatu bangsa selamanya.
Peristiwa Gerakan 30 September (G30S) dianggap sebagai pengkhianatan terhadap Sukarno oleh PKI, meskipun hingga kini motif sebenarnya masih diperdebatkan. Militer, di bawah Soeharto, memanfaatkan situasi ini untuk mengambil alih kekuasaan, menandai awal pengkhianatan politik besar-besaran yang mengubah Indonesia dari demokrasi terpimpin ke rezim otoriter.
Selama 32 tahun berkuasa, Soeharto menghadapi berbagai upaya pengkhianatan, termasuk pemberontakan Petrus (penembakan misterius) terhadap mantan sekutunya yang dianggap membahayakan kekuasaannya. Ketika krisis moneter 1998, para menteri dan militer mulai menarik dukungan, memaksa Soeharto turun.
Gus Dur (Abdurrahman Wahid) dijatuhkan melalui sidang impeachment dengan alasan korupsi dan inkompetensi. Namun, motif sebenarnya adalah ketidaksetujuan elite politik terhadap kebijakannya, termasuk upaya membubarkan DPR dan mencabut larangan komunisme.
Megawati kehilangan dukungan dari Partai Golkar dan militer yang lebih memilih Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada Pemilu 2004. Padahal seorang Megawati Soekarnoputri yang menyelamatkan Golkar dari pembubaran oleh Dekrit Presiden Gus Dur serta militer yang mengawal MPR untuk memakzulkan Gus Dur dan menggantikannya dengan Megawati. Pengkhianatan ini menunjukkan pergeseran kekuatan politik dari nasionalis sekuler ke poros Islam-militer.
Jokowi awalnya didukung oleh PDI Perjuangan (Megawati), tetapi kemudian berseteru dan justru merangkul lawan politiknya yaitu Partai Gerindra (Prabowo Subianto). Pada Pemilu 2019, upaya demonstrasi dan hoaks yang diduga didalangi oleh oposisi menunjukkan bentuk pengkhianatan politik modern melalui perang narasi dan disinformasi.
Maka, jika kemudian antara Prabowo dan Jokowi terjadi hal serupa, semisal berpaling muka dan kesepakatan, itu mengulang motif yang sama. Beberapa motif umum pengkhianatan dalam sejarah yaitu ambisi kekuasaan, contoh kasus Ken Arok, Julius Caesar, Soeharto; balas dendam, seperti Clytemnestra, Anusapati; ketakutan kehilangan pengaruh, terjadi pada Senator Romawi dan elite politik era Gus Dur; intervensi asing sebagaimana VOC dalam Mataram, CIA dalam G30S; konflik ideologi, seperti PKI vs Militer, Islamis vs Nasionalis.
Pelajaran yang bisa diambil adalah bahwa kekuasaan tanpa legitimasi kuat dan keadilan sosial selalu rentan terhadap pengkhianatan. Sejarah membuktikan bahwa pengkhianatan sering kali melahirkan siklus baru kekerasan, sehingga penting bagi pemimpin untuk membangun sistem yang inklusif dan transparan guna mencegah pengulangan tragedi masa lalu.
Pemberontakan PKI 1965 merupakan upaya kudeta yang diduga melibatkan elemen Partai Komunis Indonesia (PKI) terhadap Presiden Soekarno memicu pembalasan besar-besaran dan perubahan rezim ke Orde Baru. Krisis Politik 1998 diwarnai bahwa sebelum jatuhnya Soeharto, banyak sekutu dekatnya—termasuk menteri dan tokoh militer—yang mulai menarik dukungan, mempercepat kejatuhannya setelah 32 tahun berkuasa.
Ambisi kekuasaan adalah motif paling seksi di balik pengkhianatan, seperti Ken Arok atau Brutus, keinginan untuk merebut tahta sering menjadi pendorong utama. Motif lainnya, Ra Tanca membunuh Jayanegara karena dendam pribadi, meski sebelumnya setia. Ketakutan dan kelangsungan hidup para pembelot di tubuh Orde Baru motif pengkhianatan karena khawatir terseret dalam keruntuhan rezim. Motif manipulasi politik, tokoh seperti Mahapati atau Sinon memanfaatkan kelicikan untuk mencapai tujuan.
Kita lihat sekarang, siapa yang (akan) berkhianat kepada siapa. Setidaknya, Presiden Prabowo Subianto telah menyatakan hal itu bertepatan peringatan Hari Kelahiran Pancasila 2025 di hadapan Ibu Megawati Soekarnoputri, Pak Try Soetrisno, Pak Jusuf Kalla, dan tokoh-tokoh nasional lainnya. Nah!
• Suyadi San, pegiat sastra, Ombudsman Koran Mimbar Umum, dan periset BRIN