HARI-hari belakangan publik menyaksikan peristiwa aksi dan reaksi atas dugaan ijazah palsu Presiden ke-7 Joko Widodo dari kalangan aktivis di Jakarta, Yogyakarta, dan Surakarta (Solo, Jawa Tengah). Ini melengkapi pemberitaan kasus megakorupsi di PT Timah, Pertamina, suap hakim, pagar laut, dan sebagainya.
Penulis pun jadi teringat teks puisi berjudul “Sajak Palsu”. Puisi yang ditulis penyair Agus R. Sardjono tahun 1998 ini tersebar luas di Indonesia, sering dibacakan di panggung pertunjukan dan menjadi bahan lomba tingkat lokal hingga nasional. Selain itu, tercantum di buku-buku pelajaran Bahasa Indonesia di sekolah.
“Sajak Palsu” Agus R. Sarjono merupakan kritik sosial yang tajam terhadap sistem pendidikan, birokrasi, ekonomi, dan politik Indonesia yang dibangun di atas kepalsuan. Melalui pendekatan antropologi, sajak ini dapat dibaca sebagai cerminan budaya korupsi, hipokrisi, dan simulasi realitas yang terinstitusionalisasi.
Analisis ini akan mengaitkan tema sajak dengan fenomena kontemporer seperti ijazah palsu, megakorupsi di BUMN (PT Timah, Pertamina), suap hakim, proyek fiktif seperti “pagar laut,” serta demokrasi yang artifisial. Teori-teori antropologi, seperti cultural corruption (James Scott), simulacra (Baudrillard), dan hegemony (Gramsci), akan digunakan untuk memperkuat argumen.
Sajak Agus R. Sarjono dimulai dengan gambaran anak-anak yang belajar “sejarah palsu dari buku-buku palsu” dan menerima “nilai-nilai palsu.” Proses pendidikan yang seharusnya membentuk karakter justru menjadi pabrik penghasil “ekonom palsu, ahli hukum palsu, insinyur palsu.”
Maraknya ijazah palsu di kalangan pejabat (seperti kasus eks Bupati Nonaktif Kuansing Andi Putra) menunjukkan bagaimana legitimasi akademik bisa dipalsukan. Menurut James Scott dalam “Seeing Like a State”, dokumen palsu adalah bentuk “legibility manipulation” —pemalsuan untuk memenuhi persyaratan formal tanpa substansi.
Sajak menggambarkan amplop berisi “perhatian dan rasa hormat palsu” yang diberikan kepada guru. Fenomena ini masih terjadi, misalnya dalam kasus suap penerimaan mahasiswa di beberapa PTN (contoh: OTT KPK di Universitas Lampung, 2020).
Pendidikan sesungguhnya bukan hanya transfer pengetahuan, tetapi juga reproduksi struktur sosial yang korup. Elite mempertahankan kekuasaan dengan mengontrol akses ke legitimasi akademik.
Agus R. Sarjono mengkritik “ekonomi palsu sebagai panglima palsu,” di mana transaksi fiktif, ekspor-impor palsu, dan perbankan curang menjadi norma. Beberapa kasus megakorupsi merupakan buah dari ekonomi palsu itu.
Korupsi timah ilegal merugikan negara Rp 271 triliun (KPK, 2023). Praktik ini melibatkan pejabat daerah, pengusaha, dan mafia ekspor. Kasus korupsi proyek LNG Pertamina yang melibatkan pejabat tinggi (misalnya mantan Dirut Karen Agustiawan).
Sajak menyindir “bank-bank palsu” yang memberi pinjaman dengan “surat palsu.” Kasus Bank Century (2008) dan TPPU (Tindak Pidana Pencucian Uang) di beberapa bank swasta adalah contoh nyata.
Teori simulacra dari Jean Baudrillard’s mengindikasikan bahwa ekonomi Indonesia sering dibangun di atas hyperreality —nilai-nilai fiktif, seperti laporan keuangan rekayasa atau proyek fiktif (contoh: proyek “pagar laut” senilai Rp 1,5 triliun yang tidak jelas realisasinya).
Teori mafia ekonomi dari Varese (2011) juga tepat menyebutkan bahwa jaringan korupsi terstruktur di Badan Usaha Milik Negara (BUMN) menunjukkan bagaimana negara dimanfaatkan untuk kepentingan oligarki.
Sajak ini juga menyoroti “ahli hukum palsu” dan “pejabat-pejabat palsu” yang menjaga sistem korup. Kasus suap hakim di Mahkamah Agung (contoh: OTT KPK terhadap hakim Sudrajad Dimyati, 2023) merupakan bukti nyata “ahli hukum palsu” dan “pejabat-pejabat palsu” itu. Terkini, dugaan suap hakim kasus minyak goreng dengan bukti uang miliaran rupiah dalam koper terbungkus karung di kolong tempat tidur.
Mafia tanah seperti kasus “permainan palsu” sertifikat ganda juga berada di tataran itu.
Sajak diakhiri dengan “demokrasi palsu yang berkibar-kibar begitu nyaring dan palsu.” Ini relevan dengan praktik politik uang, pemilu yang tidak adil, dan oligarki (Winters, 2011).
Teori hegemony Gramsci’s menyatakan bahwa kekuasaan tidak hanya melalui paksaan, tetapi juga melalui consent —rakyat diajak menerima kepalsuan sebagai norma.
Kurer (2005) dengan teori legal corruption-nya berpendapat bahwa korupsi tidak selalu ilegal; bisa berbentuk kebijakan yang menguntungkan elite (contoh: UU Cipta Kerja yang dianggap pro-korporasi).
“Sajak Palsu” adalah alegori Indonesia yang terjebak dalam siklus kepalsuan sistemik. Pendekatan antropologi menunjukkan bahwa korupsi bukan sekadar tindakan individu, tetapi cultural practice yang terstruktur. Kasus-kasus terkini (ijazah palsu, megakorupsi BUMN, suap hakim) membuktikan bahwa kritik Agus R. Sarjono masih relevan.
Solusinya membutuhkan dekonstruksi sistemik—bukan hanya penindakan hukum, tetapi perubahan budaya politik dan pendidikan.
Berikut ini puisi “Sajak Palsu” karya Agus R. Sarjono secara lengkap.
Agus R. Sarjono
Selamat pagi pak, selamat pagi bu, ucap anak sekolah
dengan sapaan palsu. Lalu merekapun belajar
sejarah palsu dari buku-buku palsu. Di akhir sekolah
mereka terperangah melihat hamparan nilai mereka
yang palsu. Karena tak cukup nilai, maka berdatanganlah
mereka ke rumah-rumah bapak dan ibu guru
untuk menyerahkan amplop berisi perhatian
dan rasa hormat palsu. Sambil tersipu palsu
dan membuat tolakan-tolakan palsu, akhirnya pak guru
dan bu guru terima juga amplop itu sambil berjanji palsu
untuk mengubah nilai-nilai palsu dengan
nilai-nilai palsu yang baru. Masa sekolah
demi masa sekolah berlalu, merekapun lahir
sebagai ekonom-ekonom palsu, ahli hukum palsu,
ahli pertanian palsu, insinyur palsu.
Sebagian menjadi guru, ilmuwan
atau seniman palsu. Dengan gairah tinggi
mereka menghambur ke tengah pembangunan palsu
dengan ekonomi palsu sebagai panglima
palsu. Mereka saksikan
ramainya perniagaan palsu dengan ekspor
dan impor palsu yang mengirim dan mendatangkan
berbagai barang kelontong kualitas palsu.
Dan bank-bank palsu dengan giat menawarkan bonus
dan hadiah-hadiah palsu tapi diam-diam meminjam juga
pinjaman dengan ijin dan surat palsu kepada bank negeri
yang dijaga pejabat-pejabat palsu. Masyarakatpun berniaga
dengan uang palsu yang dijamin devisa palsu. Maka
uang-uang asing menggertak dengan kurs palsu
sehingga semua blingsatan dan terperosok krisis
yang meruntuhkan pemerintahan palsu ke dalam
nasib buruk palsu. Lalu orang-orang palsu
meneriakkan kegembiraan palsu dan mendebatkan
gagasan-gagasan palsu di tengah seminar
dan dialog-dialog palsu menyambut tibanya
demokrasi palsu yang berkibar-kibar begitu nyaring
dan palsu.
1998
• Suyadi San