Cermin Buram Kepemimpinan di Deliserdang

Berita Terkait

Pernyataan Wakil Bupati Deli Serdang, Lom Lom Suwondo, yang menyebut daerahnya sebagai “kabupaten nahdliyin” di tengah memanasnya konflik dengan Al Jam’iyatul Washliyah, sungguh disayangkan dan layak dikecam.

Sebuah pernyataan yang tidak hanya tidak bijaksana, tapi juga sembrono, tidak memahami sensitivitas sosial, serta berpotensi memecah belah masyarakat yang selama ini hidup dalam keseimbangan harmoni ormas keagamaan.

Sebagai pejabat publik, pantaskah seorang wakil kepala daerah mengucapkan kalimat yang mengandung provokasi sektarian dalam konteks konflik aset pendidikan?

Terlebih, konflik tersebut melibatkan hak siswa dan institusi pendidikan yang sudah mendapatkan kekuatan hukum tetap dari Mahkamah Agung. Lebih miris lagi, Lom Lom Suwondo disebut-sebut dulunya datang ke Al Washliyah saat kampanye, memohon restu dan sokongan. Kini, setelah berkuasa, ia justru seolah melecehkan rumah yang dulu ia ketuk dengan penuh harap.

Inilah potret buram kepemimpinan pasca-pemilu. Ketika seorang pemimpin, setelah duduk di kursi jabatan, berubah haluan dari negarawan menjadi politisi sempit yang mengedepankan loyalitas kelompok, bukan kepentingan umum.

Kita harus bertanya secara serius, jika pemilu kita terus-menerus melahirkan pemimpin dengan kualitas seperti ini, bagaimana mungkin kita bisa berharap pada kemajuan daerah dan kesejahteraan rakyat?

***

Sesungguhnya ada masalah mendasar dalam sistem pemilihan pemimpin di negeri ini. Sistem ini telah menjebak kita dalam ketaatan prosedur, yakni sekadar pemungutan suara, tanpa proses pendewasaan politik masyarakat. Rakyat memilih karena pencitraan, bukan karena rekam jejak. Figur-figur lemah dengan modal besar bisa naik, sementara tokoh-tokoh berintegritas tenggelam di antara spanduk dan uang politik.

Ironinya, ketika rakyat tidak memiliki akses luas dan mendalam untuk mengenal calon pemimpinnya, sistem ini justru juga tidak memiliki filter atau saringan yang kuat agar bisa memunculkan calon pemimpin yang benar-benar memiliki kelayakan.

Orang yang plonga plongo dan orang yang memiliki catatan etika buruk, bisa muncul sebagai calon pemimpin untuk dipilih oleh rakyat, asalkan memiliki uang dan koneksi. Lalu mereka memoles diri dengan make-up tebal sehingga mengesankan diri sebagai seorang malaikat penolong. Akhirnya rakyat pun terjebak.

Kondisi itu seakan juga mengonfirmasi bahwa sebenarnya banyak partai politik gagal dalam menjalankan fungsi kaderisasi dan rekrutmen kepemimpinan. Ironisnya, media sering ikut-ikutan pula membangun mitos figur, bukan menguji kualitasnya.

Masyarakat sendiri kadang terjebak pada loyalitas emosional, bukan rasionalitas pilihan. Dalam situasi inilah, pemimpin oportunis mudah masuk, menjual janji dan akhirnya menghancurkan harapan. Maka, para pemilih akan tertipu janji, bukan terbimbing visi.

***

Dalam etika kepemimpinan, seorang pemimpin sejati adalah penjaga harmoni, bukan pengobar api. Ia wajib berpikir jernih, berbicara bijak, dan bertindak adil, terlebih dalam situasi sensitif yang melibatkan ormas keagamaan dan nasib generasi muda.

Pemimpin seharusnya berdiri di atas semua golongan, bukan menjadi juru bicara satu kelompok dan meminggirkan yang lain. Ia adalah simbol persatuan, bukan agen segregasi (pemisahan). Jika pemilu melahirkan pemimpin yang abai pada prinsip-prinsip dasar ini, lalu di mana letak harapan kita pada kemajuan dan kesejahteraan?

 

- Advertisement -

Tinggalkan Balasan

- Advertisement -

Berita Pilihan

CORONG: Nasionalisme di Tengah Ujian Zaman (1)

SETIAP tanggal 20 Mei, bangsa Indonesia memperingati Hari Kebangkitan Nasional (Harkitnas), mengingatkan kita pada semangat persatuan dan perjuangan melawan...