mimbarumum.co.id – Sidang perkara dugaan penggelapan aset warisan melalui akta palsu dengan terdakwa David Putra Negoro alias Lim Kwek Liong kembali digelar di Ruang Cakra VI, Pengadilan Negeri (PN) Medan, Selasa (21/9).
Pada persidangan kali ini, tim Jaksa Penuntut Umum (JPU) dari Kejari Medan Chandra Priono Naibaho dan Paulina menghadirkan saksi Yetty (35) yang merupakan mantan pegawai di kantor Notaris Fujianto Ngariawan.
Di hadapan Ketua Majelis Hakim Dominggus Silaban, Yetty menyebutkan bahwa dirinya bekerja selama kurang lebih satu tahun setengah di kantor notaris Fujianto Ngariawan tepatnya sejak 2007 hingga akhir 2008 lalu.
“Selama saksi bekerja di kantor notaris Fujianto Ngariawan, pernah tidak saksi melihat para pihak yang tanda tangannya ada dalam akta (akta nomor 8 tentang Perjanjian Kesepakatan-red) ini?” tanya Chandra kepada saksi.
Meski mengaku lupa prosedur kerja dan kesaksiannya dalam pembuatan akta sebagai pegawai kantor notaris tersebut, Yetty mengakui bahwa ia tidak pernah melihat para pihak dalam akta nomor 8 yang diterbitkan pada 21 Juli 2008 itu.
Saksi juga mengatakan, tidak mengenal dan tidak pernah melihat terdakwa ketika bekerja di kantor notaris Fujianto Ngariawan.
“Saya lupa, pak. Saya nggak pernah tahu (soal kedatangan para pihak ke kantor notaris-red),” sebutnya.
Begitu juga ketika ditanya majelis hakim tentang isi akta yang dibuat di kantor notaris tersebut, saksi mengaku tidak pernah mengetahui isi akta. Namun saksi mengaku bahwa isi akta biasanya disampaikan langsung oleh Notaris Fujianto kepada pada pihak meskipun ia tak pernah melihatnya langsung.
“Saya lupa, pak. Saya nggak pernah tau, biasanya pak notaris yang menyampaikan ke pihak-pihak. Tapi saya nggak tau kalau pas disampaikan,” sebutnya.
Usai mendengar keterangan saksi, Ketua Majelis Hakim Dominggus Silaban kemudian menunda persidangan untuk dilanjutkan kembali pada pekan depan.
Di luar persidangan, JPU Chandra Naibaho yang diwawancarai sejumlah wartawan menyebutkan, ada dugaan bahwa akta nomor 8 dibuat tak sesuai prosedur sesuai peraturan Undang-Undang Kenotarisan.
“Dalam akta itu saksi ini juga menandatangani sebagai salah satu saksi. Tapi dia mengatakan sama sekali tidak pernah melihat saksi pelapor atau para pihak lain datang menghadap ke kantor notaris, padahal seharusnya dalam perintah undang-undang kenotarisan para pihak wajib menghadap langsung dan diperkenalkan oleh notaris sebelum menandatangani akta yang dibuat,” jelas Chandra.
Baca juga :Â Polda Sumut Bongkar Peredaran Narkoba Jaringan Antar Provinsi
Sementara itu, penasihat hukum (PH) korban, Longser Sihombing mengatakan, pihaknya telah menerima surat Kakanwil Kemenkumham Sumut selaku Ketua Majelis Pengawas Notaris dan Ketua Majelis Kehormatan Notaris perihal diterimanya permohonan banding yang dilayangkan pihaknya sejak tgl 28 April 2020 terkait dugaan pelanggaran etik profesi notaris.
“Jadi, isi suratnya Kanwil Kemenkumham memberikan kami kesempatan, untuk kembali membuktikan adanya tindakan pelanggaran etik yang dilakukan oknum Notaris Fujiyanto dalam menerbitkan akta nomor 8 tersebut,” katanya.
Selain itu, Longser juga meminta kepada Polrestabes Medan untuk menerbitkan surat DPO kepada Fujianto Ngariawan selaku notaris dan tersangka Lim Soen Liong alias Edi.
“Alasannya, karena setelah keduanya ditetapkan sebagai tersangka, dan dipanggil dua kali oleh penyidik Polrestabes Medan, keduanya tidak mengindahkan dua kali panggilan penyidik untuk diperiksa. Atas dasar itu kami meminta agar Kapolrestabes Medan menerbitkan Daftar Pencarian Orang (DPO), agar kedua tersangka tersebut hadir untuk diperiksa,” tandasnya.
Reporter : Jepri Zebua
Editor : Jafar Sidik