mimbarumum.co.id – Komisi Simpul Seni Dewan Kesenian Jakarta bekerja sama dengan Jakarta Poetry Slam dan Kongsi8 menggelar panel diskusi berjudul “Etika Kreasi di Era Digital: Diskusi Seni, AI, dan Kerja Kreatif”, Sabtu petang (25/1/25), di Teater Wahyu Sihombing, Taman Ismail Marzuki, Cikini, Jakarta.
Kegiatan tersebut dilatarbelakangi akhir-akhir ini, dunia diramaikan oleh teknologi kecerdasan buatan generatif atau generative artificial intelligence (Gen AI). AI dijanjikan dapat melakukan banyak hal dan membantu kita meningkatkan kreativitas bagi seniman dan produktivitas bagi pekerja kreatif.
Namun, di Indonesia, pemahaman tentang AI generatif belum cukup memadai.
Panel yang diikuti para pegiat seni, jurnalis, akademisi, peneliti, dan mahasiswa ini bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan di kalangan seniman dan pekerja kreatif Indonesia tentang teknologi AI generatif serta bagaimana ia dapat berdampak pada seni dan kerja-kerja kreatif, berkaca dari pengalaman para seniman dan pekerja kreatif di negara lain.
Panel yang dipandu Bageur Al Ikhsan, penulis dan seniman indepen, penggerak kolektif Kongsi8, mendiskusikan pertanyaan-pertanyaan etis seputar isu perlindungan data, dampak sosial dan lingkungan dari produk-produk AI generatif, serta cara beroperasi taipan-taipan di balik teknologi AI generatif.
Tampil sebagai pembicara Seniman visual dan pertunjukan, pembuat program multidisiplin di Jakarta, anggota kolektif Kongsi8 Angelissa Melissa, jurnalis teknologi dan bisnis di Jakarta, Antonia Timmerman, anggota Komite Simpul Seni Dewan Kesenian Jakarta Aquino Hayunta, dan Iman Fattah selaku musisi, teknolog, dan pengurus Komite Musik Dewan Kesenian Jakarta.
Menyitir hukum robotnya lsaac Asimov, Aquino Hayunta menekankan, manusia harus selalu diberi ruang yang lebih otoritatif dibanding AI. “Batasi akses AI terhadap dunia fisik. Seperti kita membatasi kepemilikan senjata. Kengerian AI di film-film terjadi karena AI diberikan akses ke ruang fisik,” katanya.
Menurutnya, regulasi pemerintah dan badan internasional tetap memegang peranan penting supaya AI tetap menghormati prinsip-prinsip HAM dan lingkungan. “Ada A human rights approach to AI oleh UNESCO. AI baru boleh dirilis setelah disepakati aman dan lewat uji coba multistake holders. Sama seperti pabrik mengeluarkan mobil misalnya, atau obat,” sebutnya.
Dia juga menyarankan, di dunia online pun harus ada dua kanal, kanal internet biasa dan kanal AI.
“(Perlu) Mengarahkan penggunaan AI lebih ke manajerial dan sedikit porsi ke sosial (porsi sosial Al perlu dibatasi) – ini didukung oleh Moravec’s paradox bukan untuk menggantikan manusia,” katanya seraya menyebutkan perlu guru untuk AI yang fokus pada etika dan HAM.
“Jadi (perlu) ada sertifikasi AI dan sudah memasukkan pengajaran dari Guru AI,” sebut Aquino lagi diaminkan panelis lainnya.
- Suyadi San