mimbarumum.co.id – Sejumlah seniman Indonesia meminta keberadaan Dewan Kesenian dan Dewan Kebudayaan di daerah segera dievaluasi pemerintah, jika tidak berfaedah bagi seniman dan budayawan, bahkan bisa membubarkannya.
“Keberadaan dewan kesenian dan dewan kebudayaan daerah mestinya dievaluasi oleh pemerintah, jika tidak berfaedah bsgi seniman dan budayawan. Bahkan, mungkin bijak juga dilakukan perbaikan atau pembubaran saja,” kata Agustus T. Syam, Ketua Lembaga Seni Budaya PlakPlik Ngataku Palu, Senin (11/12/23).
Para pelaku teater Indonesia ramai membincangkan nasib dewan kesenian dan dewan kebudayaan di grup media sosial terbatas, menanggapi Musyawarah Nasional (Munas) Dewan Kesenian/Dewan Kebudayaan se-Indonesia yang sedang berlangsung di Jakarta, 10–14 Desember 2023. Mereka mengizinkan perbincangan tersebut dikutip Mimbar.
Munas tersebut dibuka secara resmi oleh Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, Hilmar Farid, MA, Ph.D. di Hotel Mercure Ancol, Jakarta, Ahad malam (10/12/23). Munas diikuti 252 dewan kesenian/kebudayaan provinsi, kabupaten, dan kota se-Indonesia dari 290 yang terdaftar di Kemendikbudristek.
Tema Munas adalah “Transformasi Dewan Kesenian dan/atau Dewan Kebudayaan untuk Tata Kelola Kebudayaan”. Munas dilakukan dalam sesi sidang pleno maupun sidang-sidang komisi, dengan pemateri atau narasumber para pengampu Dewan Kesenian dan atau Dewan Kebudayaan maupun seperti Hapri Ika Poigi (Dewan Kesenian Sulawesi Tengah); Halim HD (Pengamat dan Networker Kebudayaan).
Selanjutnya, Bambang Prihadi (Dewan Kesenian Jakarta); perwakilan komunitas seni-budaya seperti Akhmad Khairudin (Komunitas Hysteria Semarang); Wayan Udiana (Pendiri Teater Kene Bali); Angga Djamar (Manajer Nan Jombang Dance Company Sumatera Barat); Max Binur (Pengawas Papuan Vices dan Direktur Bengkel Pembelajaran Antara Rakyat [Belantara] Papua).
Posisi Dewan Kesenian/Kebudayaan
Menanggapi Munas, Ketua Pusat Penelitian Seni Budaya Univerditas Tadulako Agustus T. Syam mempertanyakan posisi dewan kesenian dan dewan kebudayaan ketika ada seniman dan budayawan tidak bisa berproses bersebab terkendala dana dan fasilitas.
“Atau, mungkin kendala-kandala lain yang dihadapi seniman. Apakah dewan kesenian dan dewan kebudayaan dibentuk untuk mengurus pengurusnya ataukah untuk mengurus seniman dan budayawan secara luas di wilayah masing-masing?” tukasnya.
Begitupun, dia berharap, dengan adanya Munas, dapat menjadi wadah evaluasi buat kerja-kerja pengurus dewan kesenian daripada menjadikan lembaga tersebut seperti sanggar seni yang hanya mengurusi dirinya.
“Lebih baik pemerintah fokus pada lembaga/sanggar seni secara langsung, agar berkesenian dan berkebudayaan tepat sasaran, tidak terlalu formalistik dan birokratis,” katanya.
Seniman lainnya, Rahmat Hidayat dari Bima, Nusa Tenggara Barat, memahami dewan kesenian bermitra dengan pemerintah untuk mengejewantahkan persoalan kebudayaan dan kesenian di daerah, bekerja sama dengan para pelaku seni dan budaya.
“Tapi sangat disayangkan hal itu tak pernah terjadi, bahkan keberadaan gedung kesenian di daerah saya hanya dipakai untuk acara pernikahan, karena dikelola oleh pemerintah di bawah naungan (Dinas) Pendidikan dan Kebudayaan, sehingga ruang-ruang ekspresi pelaku seni itu tidak ada,” katanya
Kata Rahmat lagi, dewan kesenian di daerahnya hanya sebuah nama dan jabatan yang tidak berfaedah sama sekali. “Seniman-seniman tidak diperhatikan, tidak dirangkul, dan program kerjanya juga gak jelas, bahkan kepengurusannya juga gak jelas,” sergahnya.
Karena itu, dia berharap, Munas Dewan Kesenian/Kebudayaan ditaja Kemdikbudristek bisa memeberikan edukasi yang baik tentang keberadaan dewan kesenian itu sendiri agar tidak menjadi sekdar sebuah lembaga saja.
Dedy Moerakaniell, seniman dari Situbondo, Jawa Timur, mengatakan, sebenarnya tugas dan fungsi dari Dewan Kesenian adalah memberikan konsep dan gagasan besar untuk kemajuan kebudayaan di daerahnya. Sebab, fungsi dewan kesenian daerah kota/kabupaten merupakan perpanjangan tangan pemerintah daerah.
“Dan, (dewan kesenian) jembatan pemikiran seniman di daerahnya kepada pemerintah. Ia hadir dalam bentuk pemikirannya, bukan eksekusinya,” katanya. Kalau sudah masuk pada eksekusi itu, katanya lagi, dewan kesenian sama seperti Event Organizer (EO) kesenian.
“Nah, kalau di daerah kami, Situbondo, dewan kesenian bersinergi dengan para kreator seni dan seniman. Kita merancang sebuah gagasan dan pemikiran yang kita konsultasikan ke pemerintah lalu untuk eksekusi agenda berkesenian baik berupa pertunjukan, literasi, dan lain-lain baru kita sinergikan dengan kreator-kreator aktif dan kantong-kantong seni di daerah kami,” sebutnya.
Hampir sama, di Tanjungpinang, Kepulauan Riau, dewan kesenian bergerak sebagai pemicu seniman untuk berkarya dan menampilkan ke hadapan khalayak meski tidak punya dana. Biasanya, mereka mengambil momen hari besar nasional dan bersinergi dengan dinas-dinas tertentu.
“Tidak harus dana segar, cukup dibantu konsumsi pun kita bekerja. Yang penting, para seniman bisa berkarya. Jika ada kelebihan dana, kita bayar. Jika tak ada, ya hanya ucapan terima kasih, ucap Heru Untung Leksono, Wakil Ketua I Dewan Kesenian Tanjungpinang.
Reporter : Suyadi San
Kasian kalau cuma itu gagasannya, 🥱