mimbarumum.co.id – Perkembangan anak diyakini akan terhambat karena mengonsumsi informasi yang tidak sesuai usianya. Meski demikian, media sebenarnya memiliki pengaruh positif bagi anak, seperti bisa belajar bahasa Inggris dengan mencontoh apa yang dilihatnya di televisi.
Hal itu mengemuka dalam webinar Eksploitasi Anak di Media yang dilaksanakan Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Medan Area (Fisipol UMA), Selasa (15/6/2021).
Webinar ini digelar terkait sinetron yang dihentikan penayangannya karena terindikasi mengeksploitasi anak.
Hadir sebagai pembicara Rony Agustino Siahaan dari Universitas Multimedia Jakarta, Rita Pranawati, MA Wakil Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Rehia Karenina Isabella Barus, S.Sos, MSP Dosen Fisipol UMA.
Webinar itu dibuka oleh Rektor UMA Prof Dr Dadan Ramdan, M.Eng M.Sc dan dihadiri Dekan Fisipol UMA Dr Heri Kusmanto, MA.
Media Jadi Ancaman
“Sejak kehadirannya, media sebenarnya sudah menjadi ancaman. Namun dalam studi media akan selalu ada dampak positif dan negatif,” ujar Rony Agustino Siahaan.
Televisi, katanya memiliki beberapa fungsi bagi anak-anak, seperti kenikmatan pasif, informasi yang mereka dapat tanpa mereka cari.
Selain itu sebagai fungsi utulitas yakni untuk bahan obrolan dengan sesama mereka, serta fungsi mengarahkan energinya untuk berfantasi.
Menurutnya televisi ditempatkan secara sosial kultural di tengah masyarakat untuk berada di tengah-tengah keluarga.
Di dalam siarannya, televisi tidak seluruhnya berisi tentang tayangan untuk anak-anak, tetapi juga untuk orang dewasa.
“Televisi pada awalnya memproduksi untuk anak, tapi ternyata tidak menguntungkan secara finansial,” ucapnya.
Namun ketika tayangan televisi dikemas dalam bentuk kebutuhan keluarga, maka jadi lebih menguntungkan.
“Anak-anak menonton tontonan orang dewasa karena orangtuanya suka nonton suatu siaran seperti sinetron,” ungkap Rony.
Dalam hal eksploitasi anak, menurut Rony karena para orangtua gampang sekali silau dengan uang dan ketenaran.
Akibatnya, anak-anak kehilangan ruang privasi dan mereka bukan pihak pengambil keputusan yang berkaitan dengan dirinya.
“Pertanyaannya adalah apakah sama mengeksploitasi anak dengan mempekerjakan anak?,” tanya Rony.
Dia kemudian menjawabnya dengan mengambil contoh kasus Amerika Serikat, di mana ada pengecualian pekerja anak di media.
“Untuk seni, pekerja anak pengecualian terhadap eksploitasi. Jadi media tidak bisa dituntut Undang-Undang ketenagakerjaan. Tapi secara etis, orangtua bisa dituntut,” papar Roni.
Sayangnya di Indonesia tidak pernah ada yang menuntut sehingga tidak pernah ada yurisprudensi hal itu.
Sementara Rita Pranawati memaparkan setiap anak berhak mendapatkan informasi yang layak baik lisan maupun tertulis sesuai dengan tahapan usia dan perkembangan anak.
Pada kesempatan itu ia menegaskan bahwa yang disebut anak adalah mereka yang berusia di bawah 18 tahun.
Menurutnya, prinsip perlindungan anak meliputi non diskriminatif, kepentingan terbaik bagi anak, hak hidup dan tumbuh kembang, dan partisipasi anak.
Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA) prinsipnya restorative justice.
Artinya, ,tidak mencantumkan nama pelaku, nama orang tua dan pekerjaannya, alamat rumah secara lengkap, nama dan alamat sekolah, wajah pelaku/korban/saksi, lingkungan anak.
Anak juga tidak bisa diperkerjakan secara sembarangan. Pengusaha yang mempekerjakan anak pada pekerjaan ringan harus memenuhi peryaratan seperti izin tertulis dan perjanjian kerja dengan orangtua/wali.
Waktu kerja bagi anak maksimul 3 jam, dilakukan siang hari dan tidak mengganggu waktu sekolah.
Pekerjaan itu juga harus memperhatikan faktor keselamatan dan kesehatan kerja, serta adanya hubungan kerja yang jelas, dan menerima upah dengan ketentuan yang berlaku.
Gatekeeper Keluarga
Sedangkan Rehia Barus menekankan bahwa ibu rumah tangga berperan sebagai gatekeeper informasi bagi keluarga.
“Ibu rumah tangga adalah salah satu elemen masyarakat yang paling dominan berperan dalam keluarga,” tandasnya.
Menurutnya, permasalahan yang muncul adalah penggunaan media oleh ibu, mestinya ibu sebagai media literasi bagi keluarganya.
Namun dalam kenyataannya, para ibu over used media, secara terus menerus menshare hal-hal privasi dalam keluarganya.
Para ibu, katanya sering mengunggah tumbuh kembang anak melalui media sosial dengan motif kesenangan, mengarsip dokumen keluarganya dan keperluan berbagi informasi.
“Konten yang dishare akan membuka informasi tentang anak sehingga privasi anak akan hilang.,” katanya.
Hasrat ingin dipuji melalui sharenting justru berujung pada eksploitasi anak karena ada hubungan subordinasi antara orangtua dan anak.
Sedangkan fenomena under used media terjadi di masyarakat pedesaan yang tidak bisa menggunakan gedget sama sekali. Namun anak-anaknya memiliki smartphone dan terkoneksi secara digital.
“Dalam hal ini orangtua tidak bisa memantau informasi apa yang sudah dikonsumsi anak-anaknya,” katanya.
Ini membuat ancaman terselubung berupa kekerasan dan eksploitasi seksual dan berpotensi menjadi korban pelaku kejahatan,” katanya.
Reporter : Masrin/rel
Editor : Masrin