CORONG: Mengulik Bulan Muharram atau Syuro dalam Karya Sastra

Berita Terkait

BULAN Muharram, atau dikenal sebagai Syuro dalam tradisi Jawa, merupakan bulan pertama dalam kalender Hijriyah. Bulan ini memiliki makna spiritual dan historis yang mendalam bagi umat Islam, terutama karena peristiwa tragis Karbala yang terjadi pada 10 Muharram. Selain sebagai bulan yang dihormati dalam Islam, Muharram juga menjadi inspirasi dalam berbagai karya sastra, baik di dalam maupun luar luar negeri.

Karya sastra yang mengangkat tema Muharram atau Syuro sering kali menggambarkan nilai-nilai kepahlawanan, pengorbanan, kesedihan, dan refleksi spiritual. Dalam khazanah sastra Melayu klasik, salah satu karya yang paling terkenal terkait Muharram adalah “Hikayat Hasan-Husen”. Naskah ini menceritakan kisah kepahlawanan Hasan dan Husen, cucu Nabi Muhammad SAW, serta tragedi Karbala.

Hikayat ini tidak hanya berfungsi sebagai bacaan religius tetapi juga sebagai media penyebaran nilai-nilai keislaman di Nusantara. Bahasa yang digunakan penuh dengan metafora dan simbol-simbol kepahlawanan, menggambarkan Husen sebagai tokoh yang rela berkorban demi kebenaran.

Di Jawa, bulan Syuro sering dikaitkan dengan tradisi ludruk, ketoprak, dan pembacaan syair-syair religius. Salah satu contohnya adalah “Syair Kerajaan Babil”, yang mengisahkan pertempuran antara kebenaran dan kezaliman, mirip dengan peristiwa Karbala.

Selain itu, para penyair Jawa seperti Ranggawarsita juga menyinggung bulan Syuro dalam karya-karyanya sebagai simbol “waktu suci” untuk introspeksi diri.

Dalam sastra modern Indonesia, Muharram sering muncul sebagai latar belakang cerita yang penuh dengan nilai-nilai spiritual. Misalnya, dalam novel “Negeri 5 Menara” karya A. Fuadi, terdapat penggambaran bulan Muharram sebagai momen refleksi dan penguatan iman.

Selain itu, cerpen-cerpen di majalah Horison atau Kompas sering memanfaatkan tragedi Karbala sebagai alegori perlawanan terhadap ketidakadilan.

Dalam karya sastra Persia, meskipun “Shahnameh” (Kitab Raja-Raja) karya Ferdowsi tidak secara langsung membahas Muharram, epik Persia ini memengaruhi cara masyarakat Persia memaknai kepahlawanan dan pengorbanan. Tradisi ta’ziyeh (drama religius tentang Karbala) banyak mengambil inspirasi dari gaya epik “Shahnameh”.

Penyair Persia seperti Hafez dan Rumi sering menyelipkan simbol-simbol Karbala dalam syair-syair mereka. Misalnya, Rumi dalam “Masnavi” menggambarkan Husen sebagai lambang “cinta sejati yang rela mati demi kebenaran”.

Penyair kontemporer Iran seperti Simin Behbahani juga menulis puisi tentang Muharram yang menggabungkan duka religius dengan kritik sosial. Sementara novel-novel Iran modern seperti “The Colonel” karya Mahmoud Dowlatabadi menggunakan tragedi Karbala sebagai metafora perlawanan terhadap rezim otoriter. Karya-karya ini menunjukkan bahwa Muharram tidak hanya sebagai peristiwa religius tetapi juga sebagai simbol perlawanan abadi.

Di India dan Pakistan, tradisi marsiya (puisi elegi) dan noha (lagu duka) sangat populer selama bulan Muharram. Penyair Urdu seperti Mir Anis dan Mirza Dabeer menulis marsiya yang menggambarkan penderitaan keluarga Husen dengan bahasa yang sangat emosional.

Penulis Pakistan seperti Intizar Hussain sering memasukkan tema Muharram dalam karya mereka. Novel “Basti” (1979) menggunakan simbol-simbol Karbala untuk menggambarkan trauma Partisi India-Pakistan. Di India, penulis seperti Premchand juga menyinggung Muharram dalam cerpen-cerpennya, menunjukkan bagaimana perayaan ini menjadi bagian dari budaya multireligius India.

Bagaimana dengan penulis Barat? Penulis Barat seperti Lord Byron dalam “The Giaour” (1813) menggambarkan prosesi Muharram dengan nuansa eksotik. Sementara itu, penjelajah seperti Richard Burton menulis catatan tentang tradisi Muharram di India dan Persia.

Beberapa penulis menggunakan tragedi Karbala sebagai alegori, misalnya Herman Melville dalam “Clarel” (1876) yang membandingkan pengorbanan Husen dengan figur Kristus. Di era modern, penulis seperti Mohsin Hamid dalam “The Reluctant Fundamentalist” memadukan tema Muharram dengan isu-isu global seperti Islamofobia dan konflik Timur-Barat.

Bulan Muharram atau Syuro telah menginspirasi berbagai karya sastra di seluruh dunia, mulai dari epik Persia, syair Urdu, hingga novel-novel modern. Karya-karya ini tidak hanya bernuansa religius tetapi juga mengandung nilai-nilai universal seperti keadilan, pengorbanan, dan perlawanan terhadap tirani.

Di Indonesia, Muharram diabadikan dalam sastra Melayu klasik dan tradisi lisan Jawa. Sementara di Persia, India, dan Barat, Muharram menjadi simbol sastra yang terus berevolusi sesuai konteks zamannya. Dengan demikian, Muharram bukan hanya sebuah peristiwa sejarah, tetapi juga sumber inspirasi abadi dalam dunia sastra.

• Suyadi San, pengampu mata kuliah Kajian Sastra Bandingan Universitas Islam Sumatra Utara, Ombudsman Koran Mimbar Umum, dan Periset BRIN

- Advertisement -

Tinggalkan Balasan

- Advertisement -

Berita Pilihan

OTT Topan Ginting: Momentum KPK Bangun dari Tidur?

Operasi Tangkap Tangan (OTT) terhadap Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR)  Provinsi Sumatera Utara, Topan Obaja Ginting,...