mimbarumum.co.id – Ancaman Resistensi antimikroba (AMR) menjadi bahawan dalam sebuah pelatihan bagi jurnalis di Medan belum lama ini.
Pelatihan itu diharapkan bisa menjadi perhatian bersama. Jadi kenyataan itu tidak hanya menjadi perhatian dunia medis, pemerintah, maupun swasta, tapi juga bagi kalangan jurnalis.
Jika masalah yang sudah puluhan tahun terjadi itu tak diantisipasi, resistensi antimikroba bisa terus berlangsung dan memicu masalah serius dalam dunia kesehatan.
AMR pada dasarnya bisa terjadi akibat penggunaan antibiotik yang salah dan tidak tepat. Akibatnya, sejumlah bakteri menjadi resisten (kebal). Sehingga saat seseorang terinfeksi bakteri resisten itu, tidak dapat lagi disembuhkan dengan antibiotik yang biasa dipergunakan.
Hal yang diungkapkan pemateri dalam pelatihan jurnalisme sains itu diharspkan dapat meningkatkan kepedulian dan pemahaman jurnalis terhadap bahaya AMR ini.
Pelatihan yang difasilitasi World Organisation for Animal Health (WOAH) melalui Uni Eropa di bawah Proyek Tripartit Regional AMR (FAO, WHO, dan WOAH) bekerja sama dengan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Medan.
Pada kesempatan itu dihadirkan Communication Officer ReAct Asia Pasifik, Vida A Parady, dia mengatakan, AMR terjadi ketika mikroorganisme seperti bakteri, virus, dan parasit menjadi kebal terhadap obat-obatan yang seharusnya membunuhnya. Kondisi ini membuat pengobatan infeksi menjadi tidak efektif dan membahayakan keselamatan pasien.
“Data Survei Kesehatan Indonesia (SKI) 2023 mencatat Indonesia mengalami 133.800 kematian terkait AMR pada 2019. Jadi, yang mengkhawatirkan, 41 persen penggunaan antibiotik terjadi tanpa resep dokter,” ujar Vida.
Sedangkan, Guillaume Maltaverne dari World Organisation for Animal Health (WOAH) dalam paparannya menekankan pentingnya komunikasi risiko sebagai bagian dari strategi mitigasi AMR.
“AMR adalah pandemi senyap. Jika tidak ditangani serius, diperkirakan akan menyebabkan lebih banyak kematian dibandingkan kanker pada 2050,” kata Guillaume.
Drh. Liys Desmayanti dari Direktorat Kesehatan Hewan pun mengungkapkan, penggunaan antimikroba di sektor ini masih tinggi, terutama pada unggas dan ikan budidaya.
Disebutkannya, berbagai kebijakan telah diberlakukan untuk menekan penggunaan antibiotik, termasuk pelarangan growth promoter (AGP) dan penggunaan colistin. Rencana Aksi Nasional (RAN PRA) juga telah disusun hingga 2029 dengan target implementasi sistem Antimicrobial Stewardship (AMS) di 70 persen peternakan unggas komersial.
Sementara akademisi Dr Harry Parathon dalam paparannya bilang, resistensi terhadap bakteri seperti E. coli dan Klebsiella pneumoniae semakin tinggi. Akibatnya, pasien menghabiskan biaya lebih besar dan memiliki risiko kematian lebih tinggi.
“Audit nasional menunjukkan bahwa 77 persen resep antibiotik di Indonesia tidak sesuai dengan pedoman penggunaan,” kata Harry
Dari sisi lingkungan, pelatihan juga membahas surveilans air limbah yang menunjukkan keberadaan bakteri resisten seperti ESBL-producing E. coli dan CRPA.
Peneliti menemukan strain bakteri yang sama pada sampel klinis dan air sungai di sekitar rumah sakit, mengindikasikan transmisi dari fasilitas kesehatan ke lingkungan.
Bijaklah Pakai Antibiotik
Ada point penting yang tampak dalam pelatihan itu, yakni tingkat pengetahuan masyarakat secara global terhadap dampak negatif penggunaan antibiotik yang tidak tepat merupakan salah satu persoalan yang akan mengancam kelangsungan hidup manusia.
Sebab, penggunaan antibiotik secara sembarangan akan memicu resistensi atau kekebalan bakteri terhadap antibiotik.
“Ketika bakteri menjadi resisten terhadap antibiotik, maka kedepannya bakteri ini akan menjadi kebal dan tidak akan mati oleh antibiotik. Ini adalah ancaman nyata dalam dunia kesehatan,” kata dr Harry Parathon.
Dijelaskannya lebih jauh, penggunaan antibiotik memiliki tujuan untuk membunuh bakteri yang berpotensi menginfeksi tubuh makhluk hidup baik hewan maupun manusia. Akan tetapi, tidak semua penyakit membutuhkan antibiotik dalam penyembuhannya.
“Tidak semua penanganan medis ataupun penyembuhan penyakit harus menggunakan antibiotik. Dan jika harus menggunakannya, maka dokter yang meresepkannya sesuai takaran agar tepat sasaran,” ujarnya.
Akan tetapi, tingkat pengetahuan di masyarakat terkait penggunaan antibiotik yang rendah, membuat antibiotik sering digunakan tanpa resep dari dokter. Hal ini membuat antibiotik tersebut memicu resistensi atau kekebalan bakteri terhadap anti biotik.
“Dari hasil penelitian di Indonesia, tingkat penggunaan antibiotik yang tidak sesuai dengan kebutuhan masih sangat tinggi. Termasuk pada penyakit yang seharusnya tidak membutuhkan antibiotik. Ini yang perlu keterlibatan dari semua pihak untuk menyadarkan masyarakat, bahwa jika bakteri menjadi kebal, maka penyakit-penyakit infeksi akan sulit disembuhkan dan bisa berakibat pada kematian,” pungkasnya.
Data yang disampaikan para pemateri, menggambarkan kekebalan bakteri menjadi ancaman kesehatan manusia dan hewan. Hal ini berdampak pada mata pencaharian manusia terkait keamanan pangan.
Pada tahun 2019 lalu jumlah kematian akibat kekebalan bakteri sudah mencapai hampir 5 juta. Jumlah ini 3 kali lebih banyak dari total kematian yang berasosiasi dengan diabetes atau kanker paru-paru.
Sementara itu, Ketua AJI Medan Tonggo Simangunsong dalam paparannya, mengajak jurnalis melirik sains sebagai fokus liputannya. Menurut Tonggo, topik ini sangat penting dan penuh tantangan. Topik ini, sebut Tonggo akan terus berkembang di masa mendatang.
“Memang ada tantangan. Karena liputan sains memerlukan data dan narasumber yang banyak. Peliputannya tidak sekadar straight news tapi lebih mendalam,” kata Tonggo.
Diceritakannya, saat awal-awal pandemi covid-19 misalnya, jurnalis saat itu hanya menerima informasi dari satu pintu. Dari pengalaman itu, kata Tonggo, ke depannya sains harus menjadi daya tarik bagi jurnalis.
Seminar ini diikuti puluhan jurnalis di Sumatera Utara. Selain menghadirkan pembicara dari kalangan medis, semina ini juga diisi oleh pembicara dari pihak kementerian pertanian republik Indonesia, dan organisasi kesehatan dunia seperti World Health Organization (WHO) dan World Organization of Animal Health (WOAH).
Reporter: Rizanul Arifin