Setiap tahun, gema hijrah kerap kita suarakan. Sevagian masjid bersolek lampu hias, merangkai doa-doa menyambut tahun baru. Forum-forum keagamaan menggelar event demi meneguhkan semangat perubahan dari buruk menuju baik, dari gelap menuju terang. Namun benarkah kita sedang hijrah? Atau kita sekadar melakoninya sebagai rutinitas spiritual yang makin kehilangan makna?
Kita diajak merenungi momentum hijrah dengan harapan bisa menjemput perubahan dalam hidup pribadi, sosial, hingga berbangsa dan bernegara. Namun realitas memang tak pernah berdusta. Setelah dzikir akbar usai, kita tetap kembali ke kehidupan yang menyesakkan. Upah tak sebanding harga kebutuhan pokok dan emosipun nyaris ke ubun ubun gegara PLN mengirim selembar ancaman pemutusan aliran listrik ke rumah. Belum lagi biaya pendidikan kian mahal mencekik, dan sakit menjadi momok karena tak terjangkau. Yang lebih menyakitkan adalah tatkala kita membanting tulang lebih keras, ternyata itu bukan untuk kemakmuran, tapi hanya sekadar untuk bertahan hidup dalam sistem yang makin tak peduli pada derita kita.
Di level kenegaraan, angka korupsi bukan malah makin berkurang, tapi justru meningkat tajam bak harga saham perusahaan yang terdampak efek positif. Ironisnya prestasi korupsi tak hanya menyentuh jumlah para pelakunya namun hingga meningkatkan nilai nominal yang mampu mereka sikat. Penegak hukum kian kehilangan wibawa. Aparat yang seharusnya menjadi penjaga moral bangsa justru berubah menjadi aktor utama dalam skandal kejahatan, dari narkoba hingga suap.
Sementara itu, politik tak lagi menjadi medan adu gagasan, tapi arena dagang sapi. Menjadi tempat loyalitas bisa dibeli, suara bisa dipesan, dan jabatan bisa dikapitalisasi. Pemilik modal berkuasa menentukan arah negara. Oligarki semakin pede menampakkan diri. Demokrasi hanya jadi panggung sandiwara lima tahunan yang berujung pada kekecewaan massal.
Kita menyaksikan generasi muda kita makin asing dengan nilai-nilai luhur. Hedonisme menjelma menjadi gaya hidup utama. Pragmatisme dan permisivisme jadi norma sosial baru. Adab pada guru dan orang tua menjadi langka, bahkan terasa usang. Di dunia digital, kata “keren” tak lagi bermakna kebaikan, tapi viral, meski itu bertentangan dengan moral.
Lantas, apa arti hijrah dalam sistem yang mengarahkan manusia untuk menjauh dari kebaikan? Bukankah hijrah adalah transformasi total dari sistem jahiliah menuju sistem ilahiah? Jika sistem itu sendiri justru menjerumuskan manusia ke jurang kehancuran moral dan sosial, mungkinkah kita benar-benar berhijrah?
Prof. Mahfud MD pernah berujar, “Malaikat pun bisa menjadi setan ketika masuk ke dalam sistem ini.” Ungkapan ini bukan hiperbola, tetapi cermin dari kenyataan. Kita pernah punya pemimpin yang dikenal religius, santun, dan rendah hati. Tapi akhirnya dia ikut terseret dalam arus kotor korupsi. Bukan karena kurang iman, tapi karena sistemnya yang memang melanggengkan dosa sebagai mata rantai kekuasaan.
Inilah sistem yang menipu. Sistem yang membuat orang baik kehilangan arah, dan orang jahat makin berjaya. Sistem yang melabeli dirinya demokratis tapi sebenarnya oligarkis. Sistem yang menyebut dirinya berpihak pada rakyat, tapi kenyataannya menciptakan jurang kemiskinan yang makin menganga lebar. Maka jangan heran jika semangat hijrah makin pudar, sebab tak ada tempat yang benar-benar bisa dituju untuk berubah kecuali sekadar memindahkan tubuh, bukan hati dan akal.
Sesungguhnya, hijrah Rasulullah Saw bukan sekadar perpindahan fisik dari Makkah ke Madinah. Itu adalah simbol perombakan total peradaban (dari kekacauan menuju keteraturan, dari kezaliman menuju keadilan, dari sistem batil menuju sistem Islam yang rahmatan lil ‘alamin). Maka, selama sistem yang kita jalani hari ini tetap anti terhadap nilai-nilai ketauhidan, keadilan, dan keberpihakan pada kaum lemah, maka hijrah hanya akan menjadi wacana yang retoris penuh seremoni, tapi kosong aksi.
Pada hakikatnya, kita butuh lebih dari sekadar memperingati hijrah. Kita butuh menggugat sistem yang membuat hijrah menjadi mustahil. Kita butuh kesadaran kolektif untuk tidak hanya mengevaluasi diri, tapi juga berani mengevaluasi arah bangsa. Kita butuh keberanian untuk tidak hanya berhijrah secara personal, tapi juga secara struktural. Karena peradaban tak akan pernah berubah hanya dengan zikir dan air mata, tapi dengan tekad, ilmu, dan keberanian melawan arus kemapanan yang menyesatkan.
Jika tidak, maka tahun depan, dan tahun-tahun berikutnya, kita akan kembali duduk dalam majelis peringatan hijrah dengan hati yang semakin pesimis dan jiwa yang semakin letih. Dan hijrah akan tinggal sebagai nostalgia sejarah, bukan sebagai arah masa depan.