PERADABAN Persia (Iran) telah memberikan kontribusi besar terhadap perkembangan sastra dunia, termasuk Indonesia. Meskipun konflik terkini antara Israel dan Iran menyita perhatian global, warisan sastra Persia tetap menjadi mercusuar kebudayaan yang menginspirasi banyak penulis dan penyair di berbagai belahan dunia.
Sastra Persia tidak hanya mencakup karya-karya klasik seperti “Shahnameh” (Epik Raja-Raja) karya Ferdowsi atau puisi mistik Rumi, tetapi juga memengaruhi sastra modern, termasuk di Indonesia. “Shahnameh” (Kitab Raja-Raja) adalah epik nasional Iran yang ditulis Ferdowsi pada abad ke-10. Karya ini menceritakan sejarah mitologis dan historis Persia sebelum Islam hingga penaklukan oleh Arab.
“Shahnameh” tidak hanya menjadi simbol kebanggaan nasional Iran tetapi juga memengaruhi sastra dunia, termasuk Eropa dan Asia. Di Indonesia, meskipun tidak banyak yang secara langsung membaca “Shahnameh”, pengaruhnya bisa dilihat dalam cerita-cerita kepahlawanan seperti “Hikayat Amir Hamzah”, yang memiliki kemiripan struktur naratif dengan epik Persia.
Kita juga tentu ingat penyair sufi Persia terkenal, seperti Rumi, Hafez, dan tentu saja Omar Kayyam. Jalaluddin Rumi, penyair sufi paling terkenal di dunia, karyanya, “Masnavi”, menjadi rujukan spiritual universal. Di Indonesia, Rumi banyak dikutip oleh penulis seperti Habiburrahman El Shirazy dan Emha Ainun Nadjib.
Hafez, penyair lirik yang karyanya sering digunakan dalam ramalan (fal-e Hafez). Puisi-puisinya tentang cinta dan ketuhanan memengaruhi sastra Melayu klasik. Omar Khayyam, “Rubaiyat”-nya diterjemahkan ke berbagai bahasa, termasuk Indonesia, dan memengaruhi pemikiran tentang kehidupan dan kefanaan.
Sebelum Islam, Persia sudah memiliki tradisi sastra kuat. Setelah penaklukan Islam, banyak karya Persia diterjemahkan ke Arab, lalu menyebar ke Nusantara melalui perdagangan dan dakwah. “Hikayat Bayan Budiman” dan “Hikayat Kalila dan Dimna” adalah contoh adaptasi sastra Persia dalam sastra Melayu-Indonesia.
Selanjutnya, Revolusi Islam 1979 mengubah lanskap sastra Iran. Banyak penulis seperti Sadegh Hedayat (”The Blind Owl”) dan Forough Farrokhzad (sering disebut penyair feminis) menjadi simbol perlawanan melalui sastra. Karya-karya mereka diterjemahkan ke bahasa Indonesia, memengaruhi penulis seperti Ayu Utami dan Andrea Hirata yang kerap membahas tema politik dan spiritualitas.
Bagaimana pula sastra Persia dalam dunia Barat? Azar Nafisi dalam “Reading Lolita in Tehran” menggambarkan kehidupan intelektual di Iran di bawah tekanan politik. Marjane Satrapi melalui teks “Persepolis” menggunakan novel grafis untuk menceritakan kehidupan di Iran pascarevolusi. Karya-karya tersebut populer di Indonesia dan menjadi bacaan wajib bagi yang ingin memahami Iran modern.
Banyak karya sastra Indonesia bernuansa sufistik terinspirasi dari sastra Persia, sebut saja Hamzah Fansuri, penulis Melayu klasik asal Barus, Tapanuli Tengah, Sumatra Utara — dan tentu saja Aceh, banyak dipengaruhi oleh puisi Rumi dan Attar. Novelis Buya Hamka dalam karyanya, “Tasawuf Modern”, mengutip pemikiran Al-Ghazali, yang juga dipengaruhi tradisi Persia.
Habiburrahman El Shirazy dalam “Ayat-Ayat Cinta” menyelipkan kutipan Rumi dalam novelnya. Tere Liye melalui novel ”Rindu” memasukkan unsur kisah cinta ala Persia dalam narasinya. Penyair Sapardi Djoko Damono dan Goenawan Mohamad kerap merujuk pada khazanah sastra Persia dalam karya mereka.
Bagaimana pula konflik Israel-Iran dan ketahanan Sastra Persia?
Ketegangan politik antara Israel dan Iran seringkali menciptakan stereotip negatif terhadap Iran. Namun, sastra tetap menjadi jembatan budaya yang menunjukkan sisi humanis Iran. Menurut catatan, Festival Sastra Internasional di Teheran tetap dihadiri penulis dari seluruh dunia. Penerjemahan karya sastra Iran ke bahasa Indonesia, seperti karya “Simin Daneshvar”, membantu mengurangi prasangka.
Meskipun konflik terus berlanjut, minat terhadap sastra Persia tidak surut. Komunitas sastra di Indonesia, seperti Komunitas Aksara dan Pabrikultur, aktif mengadakan diskusi tentang sastra Iran.
Peradaban Persia telah memberikan warisan sastra yang tak ternilai bagi dunia, termasuk Indonesia. Dari epik “Shahnameh” hingga puisi Rumi, dari novel-novel modern hingga karya sufistik, sastra Persia terus hidup dan menginspirasi.
Konflik politik antara Israel dan Iran mungkin makin membangkitkan citra Iran di media, bahkan melalui sastra, dunia dapat melihat Iran dari sudut pandang yang lebih dalam dan manusiawi. Sastra tetap menjadi bukti bahwa kebudayaan Persia adalah kekayaan peradaban yang tak lekang oleh waktu dan gejolak politik.
• Suyadi San, pengampu mata kuliah Kajian Sastra Bandingan, Ombudsman Koran Mimbar Umum, dan peneliti BRIN