Oleh: Muhibbullah Azfa Manik
Di atas kertas, konsep Badan Layanan Umum (BLU) adalah satu dari sedikit terobosan reformasi birokrasi yang patut dibanggakan. Ia lahir dari semangat untuk mempercepat layanan publik tanpa terjebak belenggu administrasi negara yang kaku. Kampus negeri, rumah sakit, pelabuhan, hingga lembaga riset—semuanya diberikan ruang untuk lebih lincah dalam mengelola pendapatan dan belanja mereka sendiri.
Dalam bahasa undang-undang, BLU adalah satuan kerja pemerintah yang diberi fleksibilitas pengelolaan keuangan demi pelayanan publik yang efisien. Bukan korporasi pencari untung, tapi juga bukan birokrasi yang pasrah pada APBN.
Namun, seperti banyak kebijakan baik di negeri ini, penerapannya tak selalu semulus rumus di atas kertas. Di banyak kampus negeri yang berstatus BLU, kebebasan mengelola dana masyarakat sering kali justru menimbulkan tanda tanya: siapa yang sebenarnya dilayani? Mahasiswa, atau mesin administrasi kampus yang makin ekspansif?
Ambil contoh tarif kuliah. Skema Uang Kuliah Tunggal (UKT) digadang sebagai bentuk keadilan sosial—mereka yang mampu membayar lebih, mereka yang kurang mampu diberi subsidi silang. Tapi dalam praktiknya, UKT kerap menjadi sumber kebingungan. Orang tua mahasiswa geleng kepala, mengapa kenaikan UKT tidak disertai transparansi komponen biaya pokok pendidikan. Mahasiswa protes, tapi sering dijawab dengan kalimat dingin: “Kami BLU, kami harus mandiri.”
Kata “mandiri” itu, dalam banyak kasus, telah direduksi jadi dalih menaikkan tarif tanpa perlu berunding. Di sinilah misi publik mulai kabur, digantikan mental dagang yang membungkus diri dengan jargon efisiensi.
Padahal, jika merujuk pada amanat Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, serta PP Nomor 23 Tahun 2005, BLU sejatinya dituntut lebih dari sekadar “menarik uang dari masyarakat.” Ia harus memberikan layanan berkualitas, berbasis kinerja, serta dapat diakses seluruh lapisan. Kata kuncinya: transparan, akuntabel, dan profesional.
Namun dalam laporan-laporan audit, seperti yang berkali-kali disampaikan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), banyak BLU kampus yang justru belum mampu menyusun perhitungan biaya pokok pendidikan secara sistematis. Sebagian masih menggunakan pendekatan “biaya operasional dibagi jumlah mahasiswa”, tanpa mempertimbangkan efisiensi atau rasionalisasi beban kerja dosen dan staf. Lebih buruk lagi, pendapatan dari UKT dan kerja sama riset tak jarang digunakan untuk membiayai program-program elitis yang minim dampak pada mahasiswa.
Di sisi lain, status BLU juga menciptakan dilema baru dalam lanskap pendidikan tinggi Indonesia. Kampus negeri yang berstatus BLU kini bisa membuka kelas internasional, program pascasarjana berbiaya tinggi, hingga pelatihan korporat. Tapi siapa yang bisa memastikan bahwa pendapatan ini tak menggerus komitmen mereka terhadap akses pendidikan yang terjangkau?
Dalam konteks ini, kampus negeri BLU perlahan menjadi pesaing bagi Perguruan Tinggi Swasta (PTS) di sekitarnya. Bahkan dalam sejumlah kasus, PTS merasa tersisih dari pasar karena kampus negeri menawarkan program berbayar yang murah tapi berkualitas, berkat fasilitas negara yang mereka nikmati. Ironis, karena PTS selama ini menanggung beban sendiri tanpa APBN, tapi malah bersaing dengan kampus negeri yang punya dua kaki—subsidi pemerintah dan pendapatan BLU.
Apa yang Salah?
Mungkin bukan pada konsep BLU-nya, tapi pada ekosistem pengawasan dan perencanaannya. Fleksibilitas keuangan BLU memang dibutuhkan, terutama di tengah lambannya proses birokrasi negara. Tapi jika fleksibilitas tidak diimbangi transparansi dan kontrol publik, maka otonomi bisa berubah jadi oligarki kecil di dalam institusi negara.
Kementerian yang menaungi BLU—entah itu Kemenkes, Kemenhub, atau Kemendikbudristek—harus menegakkan rambu: bahwa fleksibilitas bukanlah hak istimewa, tapi kepercayaan yang harus dipertanggungjawabkan. Pengawasan tak bisa hanya berhenti pada laporan tahunan, tapi harus melibatkan partisipasi publik, mahasiswa, orang tua, dan masyarakat sipil.
Kini, di tengah dorongan transformasi digital dan persaingan global, sudah saatnya metode perhitungan biaya layanan di BLU diperbarui. Pendekatan akuntansi konvensional bisa dilengkapi dengan metode berbasis aktivitas (activity-based costing), yang memungkinkan institusi memahami dengan lebih rinci di mana inefisiensi terjadi. Pendekatan ini telah banyak digunakan di sektor pendidikan di negara-negara maju, untuk memetakan unit biaya per mahasiswa, per mata kuliah, bahkan per fasilitas.
Terobosan lain bisa berupa integrasi sistem transparansi daring. Bayangkan jika setiap kampus BLU memiliki portal publik yang memuat struktur tarif, rencana belanja, hingga laporan kinerja akademik yang mudah dipahami masyarakat. Maka, prinsip akuntabilitas tak lagi jadi jargon, tapi budaya.
Kembali ke soal dasar: BLU bukanlah musuh, dan bukan pula solusi tunggal. Ia adalah alat, yang hanya seefektif nilai-nilai yang menuntunnya. Bila kampus negeri yang menyandang status BLU benar-benar ingin menjadi mercusuar ilmu dan keadilan sosial, maka sudah waktunya mereka membuka diri—bukan hanya membuka tarif.
Tanpa itu semua, sayap yang dijanjikan undang-undang hanyalah aksesori. Dan BLU, alih-alih terbang tinggi sebagai pembawa layanan publik bermutu, bisa-bisa justru jatuh ke perangkap mental dagang yang membungkus diri dengan jaket birokrasi.
Penulis adalah Dosen Universitas Bung Hatta