CORONG: Intertekstualitas Motif Pengkhianatan dalam Karya Sastra (Kajian Sastra Bandingan)

Berita Terkait

MOTIF pengkhianatan adalah salah satu tema universal yang hadir dalam berbagai karya sastra di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Pengkhianatan dapat bersifat politis, personal, maupun spiritual, dan sering digunakan untuk menggambarkan konflik manusia yang kompleks.

Melalui pendekatan intertekstualitas (keterkaitan teks dengan teks lain) dan sastra bandingan, kita dapat menganalisis bagaimana motif tersebut muncul dalam berbagai budaya serta menemukan persamaan dan perbedaan penafsirannya. Intertekstualitas, menurut Julia Kristeva, merujuk pada hubungan antara teks-teks sastra yang saling memengaruhi.

Motif pengkhianatan sering kali muncul dalam bentuk pengkhianatan politik misalnya Brutus dalam “Julius Caesar” vs “Sangkuriang” dalam legenda Sunda, pengkhianatan personal (misalnya: Judas dalam “Injil” vs tokoh-tokoh dalam “Layar Terkembang” karya Sutan Takdir Alisjahbana), dan pengkhianatan cinta seperti Lancelot dan Guinevere dalam “Arthurian Legend” vs tokoh Zainuddin dalam “Tenggelamnya Kapal Van der Wijck”.

Dalam kisah “Julius Caesar” (Shakespeare), Brutus mengkhianati Caesar demi republik Romawi. Di Indonesia, dalam “Sangkuriang” (cerita rakyat Sunda), Sangkuriang tidak sengaja membunuh ayahnya, Tumang, yang merupakan bentuk pengkhianatan tanpa kesadaran. Pengkhianatan Brutus kepada Julius Caesar bersifat politis dan disengaja, sedangkan dalam “Sangkuriang” pengkhianatan lebih bersifat mitis dan tidak disadari.

Dalam pengkhianatan personal/relasional kisah “The Kite Runner” (Khaled Hosseini), Amir mengkhianati Hassan dengan diam saat penyiksaan terjadi. Di Indonesia, Yusuf “mengkhianati” Maria dengan memilih Tuti pada roman “Layar Terkembang” (Sutan Takdir Alisjahbana). Kedua kisah mengeksplorasi rasa bersalah dan konsekuensi moral dari pengkhianatan.

Dalam pengkhianatan cinta kisah “Anna Karenina” Leo Tolstoy, Anna mengkhianati suaminya demi Vronsky. Di Indonesia, pada “Tenggelamnya Kapal Van der Wijck” (HAMKA), Hayati memilih Khairul daripada Zainuddin karena tekanan sosial. Anna Karenina melakukan pengkhianatan secara aktif, sedangkan Hayati lebih sebagai korban struktur sosial.

Melalui kajian intertekstualitas dan sastra bandingan, terlihat bahwa motif pengkhianatan hadir dalam berbagai bentuk di Indonesia dan dunia, tetapi konteks budaya memengaruhi cara pengkhianatan itu dipersepsikan. Sastra Barat cenderung menekankan individualitas dan moral pribadi, sementara sastra Indonesia sering kali mengaitkannya dengan tanggung jawab sosial dan nasib.

Dengan pendekatan intertekstualitas, kita dapat memahami bagaimana pengkhianatan bukan sekadar tema sastra, tetapi juga cerminan nilai-nilai budaya yang berbeda.

Analisis Bandingan: Sastra dan Realitas Politik

Pengkhianatan adalah salah satu motif yang sering muncul dalam karya sastra, baik dalam bentuk sastra klasik maupun modern. Motif ini tidak hanya mencerminkan konflik personal tetapi juga sering menjadi metafora bagi situasi politik, baik dalam skala nasional maupun global.

Dalam kajian sastra bandingan, intertekstualitas memungkinkan kita melihat bagaimana tema pengkhianatan dihadirkan dalam berbagai karya lintas zaman dan budaya, serta bagaimana ia beresonansi dengan realitas politik kontemporer.

Di kisah klasik ”Julius Caesar” (Shakespeare), pengkhianatan Brutus terhadap Caesar menjadi simbol ambisi dan kegagalan loyalitas. Sementara di ”Mahābhārata” (India), pengkhianatan Duryodana terhadap Pandawa mencerminkan konflik kekuasaan dan moral.

Di kisah modern ”1984” (George Orwell), Winston yang dikhianati oleh Julia dan Partai mencerminkan pengkhianatan dalam rezim totaliter, Josef K. dalam ”The Trial” (Kafka) dikhianati oleh sistem hukum yang absurd.

Dalam konteks Indonesia, “Rumah Kaca” (Pramoedya Ananta Toer), terjadi pengkhianatan dalam kolonialisme, “Ronggeng Dukuh Paruk” (Ahmad Tohari) aroma pengkhianatan politik pasca-1965.

Situasi politik Indonesia dan dunia hari ini banyak diwarnai oleh narasi pengkhianatan. Di Indonesia, isu korupsi dan “political betrayal” yakni kasus korupsi yang melibatkan elite politik. Atau, perselingkuhan kekuasaan antara oligarki dan demokrasi yaitu manipulasi hukum untuk kepentingan kekuasaan.

Di tataran global, pengkhianatan terhadap demokrasi terlihat pada kudeta di Myanmar dan serangan Trump terhadap Capitol AS. Perang Rusia-Ukraina dan penjajahan Israel atas Palestina merupakan pengkhianatan terhadap perdamaian global.

Analogi kisah ”Julius Caesar” vs politik Indonesia terlihat pada Brutus yang membunuh Caesar dengan dalih “untuk kebaikan Roma”, elite politik sering menggunakan retorika “untuk rakyat” sambil melakukan pengkhianatan terhadap mandat rakyat.

Sementara “1984” vs politik digital menganalogikan pengawasan negara dan “deepfake” politik menjadi bentuk baru pengkhianatan terhadap kebenaran. Pada ”Ronggeng Dukuh Paruk” vs trauma 1965, pengkhianatan dalam novel ini merefleksikan trauma politik Indonesia yang masih belum sepenuhnya terselesaikan.

Motif pengkhianatan dalam sastra tidak sekadar narasi fiksi, tetapi juga cerminan dinamika politik yang terus berulang. Melalui kajian sastra bandingan, kita dapat melihat bagaimana teks-teks sastra dari berbagai zaman dan budaya saling berinteraksi dengan realitas politik hari ini.

Pengkhianatan tetap relevan sebagai tema karena ia mewakili kegagalan moral manusia dalam kekuasaan—sesuatu yang terus terjadi di Indonesia dan dunia.

Dengan pendekatan intertekstualitas dan sastra bandingan, kita dapat memahami bahwa pengkhianatan bukan hanya cerita masa lalu, tetapi juga cermin yang terus memantulkan wajah gelap kekuasaan hari ini.

• Suyadi San, pegiat sastra dan peneliti BRIN

 

- Advertisement -

Tinggalkan Balasan

- Advertisement -

Berita Pilihan

CORONG: Pemikiran Pramoedya Ananta Toer dalam Konteks Indonesia dan Dunia Kontemporer

PRAMOEDYA Ananta Toer (Pram) adalah salah satu sastrawan terpenting Indonesia yang karyanya tidak hanya memiliki nilai sastra tinggi, tetapi...