“SAJAK Rajawali” karya W.S. Rendra (1981) merupakan puisi simbolik yang menggambarkan perlawanan terhadap penindasan, kebebasan intelektual, dan keteguhan moral. Dalam konteks antropologi, puisi ini dapat dibaca sebagai kritik terhadap struktur kekuasaan yang membelenggu kebebasan berpikir. Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) yang baru kita peringati, 2 Mei 2025, seharusnya menjadi momentum refleksi tentang hakikat pendidikan, namun justru tereduksi oleh praktik korupsi, kriminalisasi pemikiran, dan degradasi moral akademik.
Tulisan ini menganalisis “Sajak Rajawali” melalui pendekatan antropologi sastra, kemudian mengaitkannya dengan situasi terkini—mulai dari kasus dugaan ijazah palsu mantan pembesar negeri, megakorupsi BUMN, hingga represi terhadap kebebasan akademik. Teori yang digunakan meliputi hegemoni Antonio Gramsci (1977), kekerasan simbolik Pierre Bourdieu (1971), dan resistensi James C. Scott (1985).
Menurut Koentjaraningrat (2009), antropologi budaya menempatkan karya sastra sebagai bagian penting dari wacana sosial. Ia merefleksikan struktur kekuasaan, norma, nilai moral, dan realitas sosial masyarakat. Sementara Clifford Geertz (1983) berpendapat, sastra berfungsi sebagai model of (refleksi) dan model for (pedoman) perilaku sosial.
“Sajak Rajawali” menggambarkan seekor rajawali yang mendiami sangkar besi. Rajawali digambarkan sebagai sosok agung, merdeka, dan berani, namun terpenjara dalam batas-batas buatan manusia. Rajawali adalah personifikasi dari kebebasan, cita-cita, dan kekuatan moral. Namun, dalam sajak, rajawali itu kehilangan ruang geraknya akibat sangkar besi—simbol pengekangan.
Dalam konteks sosio-politis, sangkar besi dapat dibaca sebagai representasi sistem sosial, politik, atau budaya yang membelenggu kebebasan intelektual, kreativitas, bahkan hak-hak dasar manusia.
Rendra menulis: “Sebuah sangkar besi/tak bisa mengubah seekor rajawali/menjadi seekor burung nuri.” Sangkar besi merepresentasikan sistem represif (politik, hukum, pendidikan) yang mencoba menundukkan individu. Rajawali melambangkan intelektual atau aktivis yang menolak tunduk, sementara burung nuri simbol kepatuhan buta. Antropologi kekuasaan (Foucault, 1977) menyatakan bahwa institusi pendidikan dan hukum sering menjadi alat disiplin yang membentuk subjek yang patuh.
Selanjutnya Rendra dalam puisi itu bilang: “Langit tanpa rajawali/adalah keluasan dan kebebasan/tanpa sukma.” Langit adalah ruang ideal kebebasan berpikir, sementara tujuh langit (simbol pluralitas) menunjukkan bahwa kebenaran tidak tunggal. Teori Gramsci menyatakan bahwa hegemoni kekuasaan mencoba menguasai “langit” (wacana publik) melalui media, kurikulum pendidikan, dan hukum.
Lalu: “Rajawali di sangkar besi/duduk bertapa/mengolah hidupnya.” Bertapa adalah bentuk perlawanan halus (Scott, 1985)—seperti kritik tersirat di balik puisi atau tulisan akademik yang dibungkam. Ini sejalan dengan pendapat Bourdieu (1977) bahwa kekerasan simbolik terjadi ketika sistem pendidikan menormalisasi ketidakadilan.
Secara keseluruhan, “Rajawali” adalah individu bebas, pemikir, intelektual, pejuang nilai-nilai kebenaran. “Sangkar Besi” adalah sistem yang menindas: kekuasaan politik, korupsi, birokrasi pendidikan, kriminalisasi pemikiran, penyelewengan hukum, nilai-nilai pragmatisme ekonomi.
Sajak ini menyoroti bagaimana masyarakat yang represif bisa mematikan potensi dan moral akademik warganya. Rendra melalui metafora “rajawali dalam sangkar besi” mengingatkan bahwa kebebasan berpikir – basis pendidikan dan moral akademik – seringkali dikorbankan oleh kepentingan sistemik.
Esensi Hari Pendidikan Nasional
Hari Pendidikan Nasional bukan sekadar seremoni, melainkan refleksi atas nilai-nilai kemerdekaan berpikir, kebebasan akademik, dan pembebasan manusia dari kebodohan dan penindasan. Ki Hadjar Dewantara menegaskan pendidikan harus membebaskan (emansipatoris), bukan membelenggu.
Namun, realitas kontemporer seringkali bertolak belakang; pendidikan Indonesia kerap menjadi alat legitimasi kekuasaan, tempat suburnya praktik manipulasi (ijazah palsu untuk kekuasaan), serta terjadinya kriminalisasi terhadap hasil pemikiran kritis.
Kasus dugaan ijazah palsu pejabat, seperti dialami mantan rektor Universitas Negeri Jakarta tahun 2017–dan kini marak lagi secara terbuka antara para aktivis vs mantan Presiden Joko Widodo, menunjukkan komodifikasi pendidikan. Bourdieu menengarai bahwa gelar akademik menjadi “modal simbolik” untuk legitimasi kekuasaan, bukan kompetensi.
Polemik ijazah palsu itu pun merupakan cermin pengabaian proses pendidikan, mengutamakan status, dan merampas hak masyarakat atas keadilan. Fenomena ini bagian dari sociology of crime, meminjam istilah Edwin Sutherland (1950), menunjukkan bagaimana kejahatan kerah putih dalam pendidikan merusak institusi.
Kasus korupsi pejabat/BUMN, menunjukkan bahwa pendidikan dan moral kerap dilepaskan dari praktik kekuasaan. Pengetahuan hanya jadi alat transaksional. Megakorupsi BUMN dan pejabat pada umumnya seolah-olah menjadikan pendidikan hanya melahirkan koruptor. Korupsi di PT Timah, Pertamina, ASABRI, Jiwasraya, dan Garuda Indonesia, misalnya, dari gurita megakorupsi lainnya, melibatkan elite berpendidikan tinggi. Ini mengingat teori Merton (1968) tentang “Anomie”—ketika sistem pendidikan gagal menanamkan nilai, yang muncul adalah “innovators” yang memanipulasi aturan.
Dalam kasus kriminalisasi pemikiran, intelektual/kritikus yang bersuara berbeda sering dikriminalisasi, lihat kasus akademisi dikriminalisasi karena hasil penelitian atau kritik, seperti dialami Fatia Maulidiyanti dan Haris Azhar tahun 2023, menunjukkan kemunduran moral-akademik dan ranah hukum yang manipulatif.
Maraknya kriminalisasi pada mereka yang berseberangan secara pemikiran, minimnya kebebasan akademik, pengawasan berlebihan (surveillance) adalah wujud nyata sangkar besi dalam realitas kontemporer. Jean-Paul Sartre dan Michel Foucault mengaitkan ini dengan power-knowledge, di mana kekuasaan membatasi, bahkan mengkriminalisasi, pengetahuan yang tidak sejalan dengan kepentingannya. Gramsci pernah menyentil “negara menggunakan aparatus represif (hukum) dan ideologis (pendidikan) untuk mempertahankan dominasi”.
Pada bagian lain, kapitalisme telah merambah sistem pendidikan. Pendidikan bukan lagi upaya pencerdasan, melainkan komoditas. Hal ini tercermin dalam kasus ijazah palsu atau asli tapi palsu (aspal) yang pernah terjadi dan pendidikan berbiaya tinggi. Pendidikan dimaknai sebagai tiket mobilitas sosial ekonomi, meminjam istilah “cultural capital”-nya Pierre Bourdieu, sehingga tujuan luhur pendidikan tereduksi.
Hukum seringkali tidak lagi menjadi pelindung keadilan, melainkan alat represi—melanggengkan status quo, memperpendek ruang kebebasan berpikir dan berpendapat. Kriminalisasi kritik akademis adalah bentuk nyata penggunaan hukum sebagai sangkar besi bagi “rajawali intelektual”.
Dalam konteks Hari Pendidikan Nasional, “Sajak Rajawali” yang ditulis Rendra tahun 1981 di Depok, Jawa Barat, mengingatkan pentingnya pembebasan pendidikan dari sangkar besi kepentingan politik/ekonomi. Antropologi menegaskan pentingnya pendidikan berbasis nilai, bukan sekadar angka, sertifikat, atau status.
Sajak ini juga relevan dengan visi “Merdeka Belajar” yang diarusutamakan pemerintah. Tapi realitasnya, jika sangkar besi tetap kokoh, merdeka belajar hanyalah jargon. Budaya kekerasan simbolik (Pierre Bourdieu) tetap memperkuat relasi kuasa dalam pendidikan.
Begitupun, “rajawali” dalam sajak Rendra tetap menanti “angin pagi, mentari lengkung di langit biru” sebagai harapan datangnya kebebasan berpikir dan kemerdekaan sejati. Ini adalah pesan agar generasi penerus, terutama civitas akademika, tidak berhenti melawan sangkar besi, menegakkan moral akademik, dan memperjuangkan pendidikan yang membebaskan.
“Sajak Rajawali” adalah kritik sosial-antropologis yang masih sangat relevan. Sajak ini bukan sekadar puisi, melainkan “manifesto perlawanan” terhadap sistem yang membelenggu. Dalam konstelasi politik, ekonomi, dan hukum Indonesia kini, rajawali yang terpenjara dalam sangkar besi adalah metafora atas pemikiran-pemikiran murni yang dibungkam oleh kepentingan kekuasaan dan ekonomi.
Hari Pendidikan Nasional harus menjadi momentum untuk membongkar hegemoni korupsi dan represi intelektual, memulihkan moral akademik dengan transparansi dan akuntabilitas serta memperjuangkan “langit“ kebebasan berpikir yang kini terancam oleh kekuasaan yang durhaka (”pencemar langit”).
Hari Pendidikan Nasional seharusnya jadi momen reflektif untuk membebaskan “rajawali” intelektual bangsa dari sangkar besi sistemis yang membelenggu. Hanya dengan begitu, pendidikan akan benar-benar membebaskan, bukan sebaliknya.
Sebagaimana rajawali yang setia pada langit, pendidikan harus tetap menjadi “ruang pembebasan”, bukan alat penindasan.
Selengkapnya, “Sajak Rajawali” W.S. Rendra sebagaimana foto di bawah ini.
• Suyadi San