Oleh: Eka Putra Zakran, S.H., M.H
KELUARNYA Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Medan Nomor: 122/G/2024/PTUN.MDN tertanggal 17 Februari 2025 dinilai janggal, keliru, sesat dan mesesatkan. Betapa tidak, isi putusan tersebut sangat janggal, aneh dan tidak objektif, bahkan mengenyampingkan rasa keadilan hukum sebagaimana yang diamanatkan dalam ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, sehingga penulis berkesimpulan bahwa peradilan tersebut merupakan putusan peradilan yang sesat, karena pertimbangan hukumnya mengandung sejumlah kekeliruan yang nyata.
Argumentasi ini bukan tidak beralasan, hakim judex factie (Pengadilan Tata Usaha Negara Medan) dinilai telah nyata-nyata mengeluarkan putusan yang keliru, yang mana sejatinya putusan tersebut tidak pernah ada atau dengan kata lain hakim seyogiya mengeluarkan putusan NO (niet ontvankelijke verklaard) adalah amar putusan yang menyatakan bahwa gugatan tidak dapat diterima karena adanya cacat formil dalam gugatan. Artinya, gugatan tersebut tidak memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan dalam prosedur peradilan.
Namun kenyataannya, Majelis Hakim dalam perkara aquo diantaranya: FATIMAH NUR NASUTION (Hakim Ketua), ANDI HENDRA DWI BAYU PUTRA dan AZZAHRAWI (Hakim Anggota) justru berpendapat sebaliknya, dengan mengabulkan gugatan Penggugat, yang notabene gugatan tersebut telah menyalahi kompetensi (kewenangan) dari sudut yurisdiksi absolut mengadili suatu badan peradilan atau dengan kata lain hakim judex factie dapat juga disebut melampawi batas kewenangannya.
Keberadaan peradilan perdata bertujuan untuk menyelesaikan sengketa yang timbul di antara anggota masyarakat. Sengketa yang terjadi tentu saja beragam, mulai dari masalah yang berkenaan dengan pengingkaran atau pemecahan perjanjian (breach of contract), perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad), sengketa hak milik (property right), perceraian, pailit, penyalahgunaan wewenang oleh penguasa yang merugikan pihak tertentu dan lain sebagainya.
M. Yahya Harahap (2016: 181) mengatakan, timbulnya sengketa-sengketa tersebut dihubungkan dengan keberadaan peradilan perdata, menimbulkan permasalahan kekuasaan mengadili, yang disebut yurisdiksi (jurisdiction) atau kompetensi maupun kewenangan mengadili, yaitu peradilan yang berwenang mengadili sengketa tertentu sesuai dengan ketentuan yang digariskan oleh peraturan perundang-undangan.
Permasalahan kekuasaaan atau yurisdiksi mengadili timbul disebabkan oleh berbagai faktor, seperti faktor instansi peradilan yang membedakan eksistensi antara peradilan banding dan kasasi sebagai peradilan yang lebih tinggi (superior court) berhadapan dengan peradilan tingkat pertama (inferior court). Faktor ini dengan sendirinya menimbulkan masalah kewenangan mengadili secara instansional. Artinya, perkara yang menjadi kewenangan yang lebih rendah, tidak dapat diajukan langsung kepada peradilan yang lebih tinggi.
Hal ini juga bermakna bahwa sengketa yang seharusnya diselesaikan lebih dahulu oleh peradilan tingkat pertama, tidak dapat diajukan langsung kepada peradilan tingkat banding atau kasasi dan sebaliknya, apa yang menjadi kewenangan peradilan yang lebih tinggi, tidak dapat dimintakan penyelesaiannya kepada peradilan yang lebih rendah.
Di samping itu, ada juga faktor perbedaan atau pembagian yurisdiksi berdasarkan lingkungan peradilan, yang melahirkan kekuasaan atau kewenangan absolut bagi masing-masing lingkungan peradilan yang disebut juga dengan atribusi kekuasaan (attributive competentie, attributive jurisdiction).
Selain perbedaan lingkungan, ditambah lagi dengan faktor kewenangan khusus (specific jurisdiction) yang diberikan undang-undang kepada badan extra judicial, seperti Arbitrase atau mahkamah pelayaran. Bahkan masalah yurisdiksi ini dapat juga timbul dalam satu lingkungan peradilan, disebabkan faktor wilayah (locality) yang membatasi kewenangan masing-masing pengadilan dalam lingkungan wilayah hukum atau daerah hukum tertentu, yang disebut kewenagan relatif atau distribusi kekuasaan (distributive jurisdiction).
Oleh karenanya, permasalahan menyangkut yurisdiksi mengadili ini merupakan syarat formil keabsahan suatu gugatan. Kekeliruan dalam mengajukan suatu gugatan kepada lingkungan peradilan atau pengadilan yang tidak berwenang, mengakibatkan gugatan tersebut salah alamat, sehingga tidak sah dan dinyatakan tidak dapat diterima atas alasan gugatan yang diajukan tidak termasuk yurisdiksi absolut atau relatif dari badan peradilan yang bersangkutan.
Kekuasaan Absolut Mengadili
Ditinjau dari kekuasaan absolut atau yurisdiksi absolut mengadili, maka kedudukan judex factie PTUN Medan berarti kewenangannya dalam hal memeriksa, mengadili dan menyelesaikan sengketa tata usaha negara ditingkat pertama. Dalam Pasal 1 angka 4 UU Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara dikatakan bahwa sengketa tata usaha negara adalah sengketa yang timbul dalam bidang tata usaha negara antara orang atau badan hukum perdata dengan badan atau pejabat tata usaha negara, baik di pusat maupun di daearah, sebagi akibat dikeluarkannya keputusan tata usaha negara, termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Sedangkan dalam Pasal 5 dinyatakan, bahwa gugatan adalah permohonan yang berisi tuntutan terhadap Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara dan duajukan ke pegadilan untuk mendapatkan putusan.
Kekuasaan Relatif Mengadili
Ditinjau dari kekuasaan relatif atau yurisdiksi relatif mengadili, maka kedudukan judex factie PTUN Medan berarti kewenangannya dalam hal memeriksa, memutus dan mengadili suatu perkara sesuai dengan batas wilayah hukumnya. Kekuasaan ini menentukan posisi PTUN Medan atau PTUN mana yang dapat atau berwenang untuk memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa tata usaha negara tersebut.
Berangkat dari dua yurisdiksi di atas, terkait dengan kewenangan memutus perkara Nomor: 122/G/2024/PTUN.MDN berdasarkan kompetensi absolut mengadili, jelas PTUN Medan tidak berwenang dalam memeriksa, memutus dan/ atau menyelesaikan gugatan tersebut. Sebab sengketa dipermasalahkan adalah sengketa yang merupakan yurisdiksi yang melekat pada Badan Peradilan Agama, yaitu masalah sah atau tidak sahnya pencatatan pernikahan antara Muhammad Bairi Indra bin H. Abdul Malik dengan Rubiati binti Sulaiman, sebagaimana tercantum dalam Kutipan Akta Nikah Nomor: 274/72/IV/2006, tanggal 09-04-2023. Hal ini mengingat, bahwa pembatalan perkawinan secara tegas diatur dalam ketentuan UU Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. Pasal 27 ayat (2) dan ayat (3) UU tersebut menyatakan: (2) Seorang suami atau istri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila pada waktu berlangsungnya perkawinan terjadi salah sangka mengenai diri suami atau istri; dan (3) Apabila ancaman telah berhenti, atau yang bersalah sangka itu menyadari keadaannya, dan dalam jangka waktu 6 (enam) bulan setelah itu masih tetap hidup sebagai suami istri, dan tidak mempergunakan haknya untuk mengajukan permohonan pembatalan, maka haknya gugur.
Oleh karena itu, putusan judex factie (Pengadilan Tata Usaha Negara Medan) dalam gugatan tersebut yang menyatakan, mengadili: Dalam Pokok Perkara menyatakan eksepsi Tergugat dan Tergugat-II Intervensi tidak dapat diterima. Kemudian:
1) Mengabulkan gugatan Penggugat untuk seluruhnya;
2) Menyatakan batal Kutipan Akta Nikah Nomor: 274/72/V/2006 antara Muhammad Bairi Indra bin H. Abdul Malik dengan R Binti S, tanggal 09-04-2013;
3) Mewajibkan Tergugat untuk mencabut Kutipan Akta Nikah Nomor: 274/72/2006 antara Muhammad Bairi Indra bin H. Abdul Malik dengan R Binti S tanggal 09-04-2013; dan
4) Menghukum Tergugat dan Tergugat II Intervensi secara tanggung renteng untuk membayar biaya perkara sebesar Rp639.500 (enam ratus tiga puluh sembilan ribu lima ratus rupiah) adalah putusan peradilan yang janggal, keliru, sesat dan menyesatkan, karena melampaui batas kewenangan atau yurisdiksi absolut yang telah ditetapkan berdasarkan ketentuan peraturan undang-undangan yang berlaku.
Selain itu, merujuk kepada Yurisprudensi Mahkamah Agung Nomor 638K/Sip/1969 secara tegas dinyatakan bahwa putusan yang tidak lengkap atau kurang cukup, dapat dipertimbangkan menjadi alasan untuk kasasi, dan putusan yang demikan harus dibatalkan. Kemudian putusan MA Nomor 67K/Sip/1972 mengandung kaidah hukum judex factie tidak memberikan alasan atau pertimbangan yang cukup (onvoldoende gemotiveerd), sehingga putusan judex factie PTUN Medan dan PT TUN Medan wajib dibatalkan.
Istilah onvoeldiando gemotiveerd sendiri berasal dari bahasa Belanda, dalam bahasa Inggris disebut insuffcient judgement, yang sering dugunakan dalam putusan MA untuk menyebut, jika hakim tingkat pertama dan tingkat banding dinilai tidak cukup pertimbangan hukumnya. Atau dalam putusan MA Nomor 1992K/Pdt./2000 memakai atau menggunakan frasa, putusan tidak sempurna.
Penulis adalah Ketua Umum DPP Advokat Negarawan Indonesia
(DPP ADNI) 2022-2027