mimbarumum.co.id – Penolakan Keputusan Walikota Medan bernomor: 025/02.K/VIII/2021 tentang penggunaan busana daerah setiap hari Jumat masih terus menggema. Jumat (17/9/2021), sekelompok massa yang mengatasnamakan Aliansi Masyarakat Medan Utara menyuarakan penolakan tersebut.
“Kami dari Masyarakat Melayu Medan utara tentu saja menolak Keputusan Walikota Medan tersebut. Apalagi dalam Keputusan Walikota tersebut menyebutkan ada 8 etnis tempatan di Kota Medan. Jadi kami menilai, Walikota Medan Bobby Nasution tidak faham tentang sejarah Kota Medan,” ungkap Eko Radianto S.Kom, Koordinator Aksi yang didampingi Tokoh Melayu OK Fahrur Roza S.Kom.
Lebih lanjut dikatakannya, keputusan Walikota Medan tersebut dikhawatirkan akan menyebabkan kegaduhan di Kota Medan yang selama ini sangat kondusif.
“Kami ingatkan kepada Pak Walikota, bahwa penduduk tempatan di Kota Medan itu hanyalah etnis Melayu, sedangkan etnis-etnis yang lainnya adalah etnis pendatang. Jadi kami harapkan, Walikota Medan dapat meninjau kembali keputusan tersebut, agar kisruh terkait keputusan tersebut tidak berkepanjangan,” Eko, mengingatkan.
Sebelumnya, Pengamat Kebijakan Publik yang juga tokoh Melayu DR. Sakhyan Asmara dengan tegas mengingatkan kepada Walikota Medan, bahwa Keputusan Walikota tentang penggunaan busana adat setiap Jumat berpotensi memicu konflik antar etnis.
“Kebijakan publik yang ditandatangani Wali Kota Medan seharusnya terlebih dahulu melalui suatu proses fact finding atau mengkaji tentang dampak yang bakal ditimbulkannya, kalau perlu dilakukan uji publik. Walikota harus melihat dampak dari keputusan yang dikeluarkannya, bagaimana positif negatifnya,” ungkap Ketua STIKP ini.
Menurutnya, di dalam Keputusan Wali Kota disebutkan bahwa ada 8 etnis tempatan di Kota Medan, dan 3 etnis pendatang.
“Tentu saja masyarakat etnis Melayu tidak terima. Sebab, cikal bakal Kota Medan ini berasal dari Etnis Melayu. Itu bisa dibuktikan dengan eksistensi kultur dan etnis Melayu yang sudah bermastautin di daerah ini sejak abad 15 dan 16, yakni hadirnya Kesultanan Deli sebagai Kerajaan Melayu. Bahkan sampai abad 20 tanah-tanah yang ada di wilayah Kota Medan dan sekitarnya merupakan tanah Grant Sultan Deli. Etnis Melayu dengan kultur Melayunya masih eksis sampai sekarang dengan peninggalan sejarah Istana Maimoon, Mesjid Raya Almahsun dan Kesultanan Deli, termasuk juga tari-tarian dan resam Melayu yang hingga saat ini masih terpelihara dengan baik di kota Medan. Jadi, etnis tempatan itu hanya Melayu, sementara yang lainnya adalah etnis pendatang,” urai mantan Kepala Dinas Pendidikan Sumatera Utara ini.
Lebih lanjut Sakhyan mengatakan, orang-orang Melayu boleh tersingkir atau terpinggirkan dari Kota Medan, namun adat istiadat dan resam Melayu sebagai tuan rumah di Kota Medan tidak boleh dipinggirkan. Adat Melayu harus dihormati dan dipelihara dengan baik oleh pemimpin Kota Medan, siapapun dia, termasuk memelihara busana adat Melayu, seperti Teluk Belanga untuk pria dan Baju Kurung untuk Wanita.
Untuk itu, Alumnus Pasca Sarjana Universitas Indonesia (UI) ini meminta Wali Kota Medan untuk meninjau kembali keputusan yang kontroversial tersebut, sebab dikhawatirkan akan memicu konflik laten antar etnis di Kota Medan yang akhirnya bisa menjadi konflik manifes.
“Masyarakat Melayu di Kota Medan tentu tak akan tinggal diam. Untuk itu, saya harapkan Wali Kota Medan harus bijaksana menyikapi hal ini. Sebaiknya keputusan tersebut ditinjau kembali atau dibatalkan saja dari pada mengundang kericuhan,” Sakhyan, menyarankan.
Editor : Jafar Sidik